Sabtu, 13 Agustus 2011

Warga Sindangwangi Temukan Patilasan Kiansantang

Sindang Wangi (Sinar Media)


Sekelompok warga yang mengatasnamakan komunitas sanggar Pandan Wangi dari desa Jeruk Leueut Kec. Sindangwangi, belum lama ini telah menemukan salah satu situs sejarah berupa patilasan berupa batu besar yang diduga kuat milik prabu Kiansantang yang merupakan putra dari Prabu Siliwangi.
Lokasi patilasan tersebut terletak di atas bukit lingga tepatnya berada di blok Paningkiran desa Cangkoak Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon, walaupun lokasinya berada di kabupaten tetangga namun sanggar Pandan Wangi sebagai penemu pertama kali kini tengah melakukan penataan disekitar situs. Selain itu warga juga menemukan goa yang diyakini merupakan goa kemulyaan dan konon lorong goa bisa tembus keempat penjuru dunia.


Keanehan lainya batu yang sudah berusia ratusan tahun ini selalu ditetesi air, namun walau batu tersebut terus tertesi air permukaan batu tetap rata. Pepatah yang sudah dikenal Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legokseolah tidak berlaku pada batu yang satu itu. Dan keanehan yang terkahir yakni terdapat batu yang dinamakan warga sebagai batu perundingan, batu besar seukuran dua lingkaran orang dewasa itu tampak rata terbelah seperti telah dibelah oleh samurai yang panjang.
“Kami percaya bahwa batu tersebut merupakan sebuah meja sewaktu perundingan atau musyawarah, ketika prabu Kiansantang dan rekannya Nyimas Pangkuwati, Nyimas Gandasari termasuk Syekh Syarif Arifin yang makamnya ada di desa Sindangwasa Kec. Palasah menyusun strategi untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah tiga Cirebon,” ungkap kuncen setempat, Darsono saat ditemui Sinarmedia belum lama ini.
“Logikanya adalah mengapa dulu ada orang yang mau susah payah menaiki bukit ini, hanya untuk membelah sebuah batu, jika tidak ada maksud tujuannya?” Ungkapnya secara retorik.
Seorang warga asal Rajagaluh, lulusan filsafat sejarah, yang datang ke lokasi bersama wartawan Sinarmedia, M. Nurchozin mengatakan, penemuan patilasan di bukit Lingga itu mungkin merupakan rangkaian sejarah yang hilang, yang sedang dicari-cari para sejarawan.
“Kalaulah memang ada tiga keajaiban batu yang tidak masuk akal secara logika. Batu yang hampir jatuh namun tetap kokoh berdiri, batu yang tetap utuh setelah ditetesi air selama ratusan tahun dan batu musyawarah yang seperti bentuk meja yang terbuat dari kayu, hanya saja tidak rata. Mungkin itu merupakan sejarah yang perlu dikaji dan dipelajari kembali, dan memungkinkan untuk dicatat dalam dokumentasi sejarah.”  Ujarnya.
Ketua Sanggar Pandan Wangi, Sanenta mengatakan, pihaknya bersama rekan-rekannya merupakan sekelompok orang yang ingin peduli dan didukung sepenuhnya oleh sebagian besar warga Cangkoak untuk melestarikan patilasan di bukit Lingga ini. Dengan tujuan supaya orang tahu dan mengenal bagian sejarah yang hilang.
“Supaya mereka tahu kebenaran sejarahnya dan supaya orang lain mengetahui. Bahwa ada patilasan bersejarah di perbatasan Majalengka dan Cirebon ini. Meskipun belum terpublikasi, namun, kabar dari mulut ke mulut yang pernah berkunjung ke buklit ini yaitu dari Sumedang, Indramayu dan Majalengka terkadang ada yang datang ke sini sekedar untuk kemping. Warga dan kasepuhan tidak melarang, akan tetapi mereka yang berkunjung itu tidak dibolehkan mandi di tujuh sumber mata air, yang tidak pernah kering meski sedang kemarau panjang . Pernah ada lima pemuda yang kemping dan mereka mandi di salah sumber mata air ini, besoknya mereka ditemukan telah meninggal. Itu sudah lama, beberapa tahun yang lalu.” Ungkap Sanenta yang akrab dipanggil Aung, warga Sindangwangi itu.
Lebih lanjut Aung mengatakan, dalam satu bulan ini, Sanggar Pandan Wangi bersama warga Cengkoak telah mencoba untuk membangun jalan menuju puncak yang berjarak 20 meter dari sumber mata air yang ada tujuh itu dengan dana swadaya. Selain keanehan batu, di puncak itu ada sebuah goa yang diyakini sebagai tempat penyimpanan harta karun.
“Kita tidak tahu pasti, akan tetapi jika daerah ini menjadi obyek wisata ziarah, mungkin itulah harta karun yang dimaksud. Apakah cerita yang kami dapat dari nenek moyang secara lisan itu adalah benar adanya, kami belum tahu. Yang jelas, kami membutuhkan bantuan dari berbagai kalangan, baik itu yang berada di daerah Kabupaten Cirebon maupun Kab. Majalengka. ” Tambahnya.
Salah seorang kuncen lainnya, Sumana mengatakan, sepanjang pengetahuanya  patilasan ini sudah ada sejak 1518 M. Hanya saja mustahil jika memang ada harta karun di sini.
“Yang kami tahu, goa ini dulunya adalah semacam goa kejayaan, semacam lorong waktu yang bisa tembus ke empat penjuru dunia yaitu Mekkah, Garut, Ciremai, Pajajar dan Keraton Cirebon. Akan tetapi kita pun belum tahu pasti kebenarannya. Wallahu A`lam Bisshowab.” Ungkapnya.
Kepala desa Cangkoak, Maskana mengatakan mayoritas warga sangat menginginkan adanya pembangunan untuk penataan di bukit Lingga ini. Hanya saja kami terkendala dana. Kami tidak akan merubah posisi batu atau hal lainnya, hanya saja kami ingin menjadikan daerah ini sebagai obyek wisata ziarah yang patut mendapat tempat untuk dikunjungi, karena bagaimanapun juga, hal ini bisa jadi merupakan rangakaian sejarah yang belum terdokumentasikan.
“Kita sudah mengajukan ke pemda Cirebon namun jika melihat dari sejarah, sepertinya ini tidak saja menyangkut wilayah, akan tetapi menyangkut nilai sejarah yang belum terdokumentasikan. Karena itulah kita sedang mencari dana dan donatur. Dan sekarang kita sedang butuh dana. Dari dinas provinsi Jawa Barat bidang Kepurbakalaan, dulu pernah ada meninjau ke sini tahun lalu. Akan tetapi sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya.“  tambahnya. (Erik)

1 komentar:

  1. Sebagai Warga Cisaat Cangkoak saya merasa bangga, namun penemuan dan tradisi turun temurun tentang batu tersebut telah dilakukan sejak lama seperti mngadakan wayang, selametan, ziarah dll setiap maulid atau hari tertentu dan penjagaan dan penataan memang sudah dilakukan oleh warga sekitar sendiri sejak lama, terima kasih

    BalasHapus