Jumat, 12 Agustus 2011

Kian Santang 4


Pada suatu saat Kian Santang menceritakan pengalamanya kepada Baginda Ali. Dan bertanya tentang tujuh suara yang didengarnya didalam perjalanan.
“Manusia memiliki tujuh lubang hawa nafsu. Dialah yang setiap saat menarik-narik kita untuk berbuat dosa, ketujuh lobang itu adalah mata, hidung, mulut, telinga, tangan, kaki, dan hati,“ Baginda Ali menjelaskan.
Kian santang mengangguk-angguk, meresapi penjelasan tersebut. Demikian Kian Santang menanyakan berbagai persoalan, dan teranglah hatinya manakala satu persoalan telah dibahas oleh Baginda Ali.**

Pada suatu hari, ketika Kian Santang telah merasa cukup berguru, dia permisi mohon pamit untuk kembali ketanah Jawa. Baginda Ali membekali dua macam barang. Yakni kitab Al-Quran dan sebuah untaian tasbih. Baginda Ali pun memberi wasiat bahwa Kian Santang harus menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Dengan ijin Allah, setelah membaca basmallah dan memejamkan mata, Kian Santang telah sampai di tanah Jawa, di negerinya yakni Kerajaan Pajajaran.

Ayahanda, Prabu Siliwangi tentu saja amat gembira melihat kedatangan putra tercintanya. Kian Santang disambut dengan suka cita, bahkan diadakan pesta meriah. Berbagai makanan dihidangkan. Bermacam kesenian ditabuhkan. Kian Santang tidaklah setuju dengan penyambutan seperti ini. Tapi dia tidak bisa mencegah kehendak ayahandanya. Dia khawatir ayahnya akan tersinggung dan luapan kegembiraannya terganggu.

Ketika pesta berakhir, Kian Santang di panggil ayahnya.
“Berceritalah anakku, apa yang engkau bawa dari negeri Mekah? Apakah engkau berhsil bertemu dengan Baginda Ali?” tanya Perabu Siliwangi.

“Alhamdulillah, Ayah! Ananda membawa mutiara yang tak ternilai harganya,”jawab Kian Santang. “Mutiara! Mutiara apakah gerangan? Dan mengapa kata-katamu menjadi aneh?” Sang perabu tampak keheranan.
“Inilah mutiara yang kumaksud, Ayah! ”jawab Kian Santang seraya menyondorkan Al-qur’an. “Kitab apakah ini?” Sang perabu semakin penasaran.
“Ananda telah memeluk agama Islam, Ayah. Inilah kitab Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat Allah, petunjuk untuk mencapai ketenangan dunia dan akhirat,” jawab Kian Santang dengan penuh keyakinan.

Seketika muka Sang Prabu merah padam. Dia menjadi murka mengetahui anaknya telah berpindah agama.

“Aku merestuimu bukan untuk menjadi orang sesat seperti ini!’ bentaknya penuh kemarahan.” Bukanya kepergianmu untuk mencari kesaktian?”.
“Kesaktian diri tidak terletak pada kedigjayaan yang kita miliki, Ayah. Manusia adalah makhluk lemah dan hina, hanya Allah pemilik segala kekuatan.” Kian Santang tetap bersikap tenang.
Aku tak ingin mendengar kata-katamu. Enyalah jika engkau tetap memeluk agama itu!” Sang prabu bangkit sambil menunjuk –nunjuk anaknya.
“Tidak, Ayah! Ananda ingin mengajak Ayah memeluk agam Islam. Dewa yang kita sembah selama ini Tuhan ciptaan manusia. Tuhan sesungguhnya adalah Allah, pencipta langit dan bumi.” “Kau telah menghina agama nenek moyangmu! Pergilah1 Aku mengusirmu dari keraton, bahkan dari negeri Pajajaran!” suara Sang Prabu semakin meledak makin geram.

“Baiklah, Ayah! Tapi ananda tidak akan pergi dari Pajajaran, sebelum rakyat memeluk agama Islam!” jawab Kian Santang lalu memohon pamit pada ayahnya.
Negeri Pajajaran segera terguncang. Berita agama baru yang dibawa Kian Santang telah menyebar kesluruh penjjuru negeri. Tidak sedikit diantaranya rakyat yang merasa penasaran, lalu diam-diam memeluk agama Islam.

Dalam waktu singkat, hampir seluruh rakyat menjadi pengikut Kian Santang. Hanya para pengikut setia Prabu Siliwangi yang masih memeluk agam nenek moyamg mereka. Dalam keadaan yang makin memanas, terjadilah hura-hura. Perang antara pengikut Kian Santang dan pengikut setia ayahnya, Prabu Siliwangi.

Karena dengan kekuatan yang tidak seimbang, Prabu Siliwangi yang hanya diikuti 40 orang prajurit, melarikan diri dari keraton. Pengejaran segera dilakukan. Pasukan Prabu bergerak menghindar kearah barat, sehungga sampai di Ujungkulon. Ditempat inilah mereka terkepung.

Konon menurut cerita, dalam keadaan terdesak, Prabu Siliwangi ngahiang, menghilang tanpa jejak di suatu temat di Ujungkulon. Tempat ngahiang tersebut kini dikenal dengan sebutan Sanghiyang Sirah. Sementara pengikutnya berjumlah 40 orang berganti wujud menjadi harimau. Itulah sebabnya, hingga kini di Ujungkulon jumlah harimau konon tetap berjumlah 40 ekor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar