Jumat, 12 Agustus 2011

Karomah Ki Khalil Madura 3


7. SURAT KEPADA ANJING HITAM
Musim haji telah tiba. Sebagaimana biasanya, penduduk daerah Bangkalan yang akan menunaikan ibadah haji terlebih dahulu sowan kepada Kiai Kholil. Fulan calon jamah haji Bangkalan. Menjelang keberangkatannya, terlebih dahulu menyempatkan sowan ke Kiai Kholil. Kiai, ketika melihat diantara tamu terdapat si Fulan, maka segera menyuruh mendekat. “Fulan, ini surat. Sesampainya di Masjidil Haram, berikan surat ini kepada anjing hitam.” Pesan Kiai kepada si Fulan dengan datar. “Ya, Kiai. Saya akan menyampaikan surat ini.” Jawab si Fulan tanpa berani menatap dan bertanya kenapa Kiai menyuruh demikian. Sesusai sowan kepada Kiai, Fulan langsung pulang ke rumahnya. Berbagai kecamuk dan pertanyaan dibenakknya. Hari keberangkatan pun tiba. Dengan niat yang ikhlas, Fulan berangkat ke tanah suci. Sesampainya di Makkah, Fulan menunaikan Ibadah hajinya dengan baik. Sungguhpun demikian, Fulan belum tenang kalau amanat yang dipesankan Kiai Kholil belu dilaksanakan. Segera fulan pergi ke halaman Masjidil Haram, terdorong karena patuhnya kepada Kiai Kholil, ingin segera menyampaikan pesan yang sangat aneh ini. Tapi bagaimana caranya? Tak disangka, ditengah keasyikannya merenung itu. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, didepannya sudah berdiri seekor anjing hitam. Tanpa pikir panjang lagi, Fulan segera meraih surat yang ada di sakunya. Seketika itu juga, disodorkannya surat itu kepada anjing hitam. Telinga anjing itu bergerak-berak, lalu menggigit surat itu pelan-pelan. Beberapa saat anjing itu menatap tajam wajah si Fulan seolah-olah ingin mengungkapkan rasa terima kasih. Setelah itu dengan langkah tenang dan wibawa, sang anjing hitam itu meninggalkan Fulan yang masih terpana. Dipandangnya anjing itu hingga tidak terlihat lagi dari pandangan mata Fulan. Fulan merasa lega. Sebab, amanat yang tidak dipahami itu sudah ditunaikan. Waktu pun bergulir hingga selesailah ibadah Rukun Islam yang kelima itu. Semua jamaah haji seantero dunia pulang ketanah airnya masing-masing begitu pula dengan fulan pulang ke Bangkalan. Bagi fulan, sungguhpun sudah selesai ibadah haji, namun kecamuk surat misterius itu masih melekat di benaknya. oleh sebab itu, setibanya di Bangkalan, pertama kali yang ditemuinya adalah Kiai Kholil. “Sudah disampaikan surat saya, Fulan?” Kata Kiai menyambut kedatangan Fulan. “Sudah, Kiai.” Tegas fulan lega. “Tapi, Kiai..” Kata fulan agak tersendat-sendat “Ada apa Fulan?” Kata Kiai Kholil tanpa menunjukkan ekspresi yang aneh. “Kalau boleh Tanya, kenapa Kiai mengirim surat kepada anjing hitam?” Tanya si Fulan terheran-heran. “Fulan, yang kamu temui itu bukan sembarang anjing. Dia adalah salah seorang wali Allah yang menyamar sebagai anjing hitam yang menunaikan Ibadah haji tahun ini.” Jelas sang Kiai. Mendengar keterangan Kiai Kharismatik itu, si Fulan baru memahami dan menyadari apa yang ada dibalik peristiwa itu. Dan sifulan pun hanya bisa menganggut sambil mengenang saat sang anjing berhadapan dengan dirinya.

8. ORANG ARAB DAN MACAN TUTUL
Dan diantara karomahnya, suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib[13]. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamu-tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab[14], habib tadi menghampiri Kiai Kholil seraya berucap : “Kiai, bacaan Al-Fatihah antum (anda) kurang fasih.” Tegur Habib. “O.. begitu?!” Jawab Kiai Kholil dengan tenang. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. “Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu, Habib. Silahkan ambil wudlu di sana.” Ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu. Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

9. TONGKAT KIAI KHOLIL DAN SUMBER MATA AIR
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu; sumber mata airnya dapat menyembuhkan pelbagai macam penyakit[15]. Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan. Banyak orang yang datang dari jauh hanya sekedar untuk minum dan mandi. Mereka yakin bahwa air yang ada di sumber mata air di Langgundi itu, adalah jejak karomah-karomah Kiai Kholil yang diyakini membawa berkah.

10. MENYUMBAT KAPAL LAUT
Sebagai pimpinan pesantren, Kiai Kholil senantiasa mengimami sholat, tiba-tiba keluar dari jam’ah sholat menuju ke halaman masjid. Tangan Kiai Kholil bergerak ke kanan-kiri seakan berbuat sesuatu yang sangat menyibukkan. Hal ini sangat tidak dipahami para santri. Mereka hanya diam seribu bahasa, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah beberapa lama Kiai Kholil di halaman, lalu kembali mengimami sholat hingga selesai. Beberapa hari berlalu, begitu pula dengan kegiatan pesantren berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi bagi para santri peristiwa aneh yang tidak bisa dipahami beberapa hari lalu tetap menjadi tanda tanya. Para santri tetap penasaran sebelum terpecahkan. Hari demi hari berlalu, tidak ada tanda-tanda pemecahan peristiwa yang selalu diingat itu. Baru setelah beberapa hari setelah kejadian itu, datang beberapa orang membawa bungkusan yang sangat banyak. “Mau ke mana saudara-saudara ini?” Tanya seorang santri kepada tamu yang baru datang. “Saya akan menemui Kiai Kholil. Seminggu yang lalu beliau telah menolong kami dari musibah bocor kapal kami.” Jawab rombongan yang baru datang itu. “Seminggu yang lalu?” Pikir santri. Padahal beberapa minggu yang lalu, Kiai Kholil tidak pernah bepergian apalagi menyeberang laut. Akhirnya santri tersebut mengantarkan rombongan yang baru datang itu ke Kiai Kholil. Seperti biasanya, kalau Kiai kedatangan tamu, lalu bertanya: “Ada keperluan apa?” Ucap Kiai Kholil menyambut kedatangan tamu itu. “Kami ingin mengucapkan terima kasih berkat upaya Kiai yang menyumbat kapal laut kami yang bocor sehingga kami selamat. Kami tentu akan tenggelam jika tidak ada Kiai dan harta kami semua akan hilang begitu saja.” Ucap rombongan itu dengan wajah berseri-seri. Para santri yang sengaja mendengarkan pembicaraan di sekitar rombongan itu, seketika sadar dan memahami tentang kejadian seminggu yang lalu. Rupanya, ketika Kiai memimpin sholat jamaah lalu keluar ke halaman masjid dalam upaya menyumbat kapal bocor. Pantas tangan Kiai sibuk bergerak kian kemari. Sejak saat itu para santri menjadi tenang dan tidak penasaran lagi tentang peristiwa yang selalu diingatnya itu.

11. TIGA TAMU DAN ISTIGFAR
Dan diantara karomahnya. Suatu hari. Kiai Kholil kedatangan tiga orang tamu secara bersamaan. Lalu sang Kiai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya seorang pedagang, Kiai. Hasil tidak didapat malah rugi terus menerus.” Ucap tamu pertama memohon. Setelah Kiai Kholil memandang sejenak ke arah tamu yang pertama, lalu menjawab: ”Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, banyaklah berucap istigfar.” Setelah itu tamu kedua menghadap: “Sampeyan ada perlu apa?” Saya sudah berkeluarga 18 tahun tapi saya belum diberi keturunan.” Setelah Kiai memandang kepada tamu kedua, maka dijawablah: “Perbanyak istigfar.” Tandas Kiai. Kini tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kiai langsung bertanya:, “Sampeyan ada perlu apa?” “Saya usaha tani, Kiai, namun makin hari hutang saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya.” Ucap tamu yang ketiga dengan muka raut yang serius. “Jika kamu ingin berhasil dan melunasi hutangmu, perbanyak istigfar.” Pesan Kiai kepada tamu yang terakhir. “Beberapa murid Kiai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Suatu persoalan yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, dengan resep yang sama, yaitu menyuruh perbanyak istigfar. Kiai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang maka dipanggil para santri yang penuh tanda Tanya itu. Lalu Kiai kholil membacakan surat nuh ayat 10-12 yang artinya: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya dia maha pengampun, niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. Mendengar jawaban Kiai ini para santri mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji allah bagi siapa yang memperbanyak baca istigfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamu semuanya berhasil apa yang dihajatkan.

12. POLISI MENCARI PENCURI
Dan diantara karomahnya, seperti dikisahkan di bawah ini. Sudah lama polisi memburu seorang pencuri yang malang melintang disekitar kota Bengkalan. Beberapa cara telah dilakukan, namun hasilnya nihil. Aparat kepolisian hampir putus asa. Mereka kewalahan menangkap pencuri yang satu ini. Tidak tahu cara apa yang harus ditempuh. Pada saat kebingungan mencari cara, seorang polisi senior mendapat ide dan mengusulkan untuk sowan ke Kiai Kholil. Setelah dipertimbangkan, polisi itu memutuskan untuk menemui Kiai Kholil. Setibanya di kediaman Kiai kholil, seperti halnya tamu yang lainnya, Kiai menanyakan “Sampeyan ada keperluan apa?”. “Saya memburu pencuri, Kiai. Seluruh kota dan desa sudah dilacak, tapi tak ada hasil. Mohon petunjuk Kiai.” Ucap polisi dengan penuh harap. Beberapa saat Kiai memandang tamunya. Tiba-tiba Kiai memanggil seorang santri dan menyuruh membeli urus-urus. Urus-urus adalah obat yang digunakan untuk cuci perut. Istilah lainnya disebut broklat. Kiai Kholil lantas menyuruh polisi yang ada dihadapannya itu untuk meminum urus-urus. “Saya minum ini, Kiai ?” Kata polisi tadi, tak percaya dalam benaknya, apa hubunganya dengan pencarian pencuri. “Ya, minum cepat!” Tegas Kiai Kholil sekali lagi. Selesai meminum urus-urus, polisipun disuruh pulang memakai kendaraan umum. Dalam perjalanan pulang, tampaknya urus-urus mulai beraksi. Perut sang polisi mulai mules-mules. Sampai disuatu tempat tertentu, rasa mules-mules sudah memuncak. Tak ada jalan lain kecuali berhenti di tengah jalan dan mencari sungai untuk buang hajat. Setelah polisi berhenti, terlihat ada sungai yang tampaknya cukup curam dan dalam. Karena hajat tidak bisa ditahan lagi, maka walaupun rasa berat, sang polisi menuju sungai yang sangat curam itu, ketika berada di curam yang paling bawah, disitulah sang polisi memergoki pencuri yang selama ini dicarinya. Dengan sigap, polisi meringkus pencuri dan memborgolnya. Dengan tertangkapnya pencuri itu, sadarlah polisi terhadap maksud mengapa Kiai Kholil menyuruh meminum urus-urus. Rupanya inilah jalan yang harus ditempuh untuk mengetahui dan menangkap pencuri yang selama ini malang melintang di Bangkalan.

13. SUMUR KIAI KHOLIL
Ketika Kholil muda nyantri di Pesantren Cangaan Bangil bertepatan dengan musim kemarau panjang. Semua sumur mengalami kekeringan. Masyarakat Cangaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan air minum. Demikian juga di dalam kompleks lingkungan pesantren yang dipimpin Kiai Asyik. Dalam suasana seperti itu Kiai Asyik lalu memanggil Kiai Kholil menghadap: “Kholil..” Kata Kiai Asyik agak serius. “Ya, Kiai.” Jawab Kholil dengan sopan dan ta’zhim. “Sekarang kamu buat sumur, sebab saat ini musim kemarau, kita kesulitan air.” Perintah Kiai Asyik. “Insyaallah..” Jawab Kholil dengan tenang. Setelah diperintahkan Kiai, segera Kholil mengambil sebuah serok untuk menggali sumur. Terdorong sikap patuhnya kepada Kiai Asyik, Kholil segera menggali sumur. Upaya Kholil berhasil baru saja dia menggali satu meter ternyata air sudah menyembur keluar. Hal ini sangat menyenangkan Kiai Asyik dan warga pesantren. Berita sumur baru yang banyak mengeluarkan air itu ternyata tidak lama kemudian terdengar oleh masyarakat Cangaan Bangil. Betapa bahagianya masyarakat mendengar berita itu. Beberapa orangmasyarakat segera pergi ke sumur untuk mendapatkan air. Sejak itu masyarakat Cangaan Bangil berbondong-bondong mengambil air di sumur tadi sebanyak-banyaknya. Meskipun air sumur itu diambil terus-menerus oleh masyarakat, namun air tetap melimpah. Sumur itu sampai sekarang masih ada. Warga pesantren memeliharanya dengan baik warisan salah satu dari karomah Kiai Kholil. Masyarakat Cangaan menamakannya “Sumur Kiai Kholil”.

14. BERGURU DALAM MIMPI
Dan diantara karomahnya, adalah terjadi pada saat akan mencari ilmu. Pada waktu Kholil muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal!” Desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar