Jumat, 12 Agustus 2011

Kian Santang 3


Baginda Ali tidak memiliki kesaktian apapun!” kata suara yang lain.
Kian Santang menoleh kearah bawah. “Sia-sialah engkau pergi kenegeri Mekah. Kembalilah sebelum engkau menyesal!” kata suara yang lain. Kian Santang menoleh kearah dirinya sendiri.
Tak ada siapapun yang dia lihat. Hanya ombak bergelombang da hamparan laut yang luas membiru disekelilingnya. Suara siapakah gerangan? Mungkinkah suara Dewa? Benarkah aku ynag paling sakti di dunia?
Kian Santang dimasuki kegemangan. Langkahnya terhenti sesaat. Pikiranya mulai ragu, apakah dia akan melanjutkan perjalannya atau harus kembali kenegerinya. Tapi secepat itu dia ingat nasihat Resi Guru, bahwa suara-suara itu godaan terhadap keteguhan niatnya. Maka tenaglah kembali pikiran Kian Santang. Ia kembali melanjutkan perjalanan.

Tibalah di negeri Mekah. Orang yang pertama dijumpai adalah seorang kakek tua yang sedang berteduh dibawah pohon kurma, di padang pasir. Pakainnya amat sederhana, mengenakan baju gamis Arab yang agak kumal. Tetapi kakek itu nampak tenang. Kumis dan janggutnya telah memutih seluruhnya. Tangannya memegang sebuah untaian tasbih, sementara bibirnya tak henti bergerak-gerak, entah sedang membaca apa.

Bertanyalah Kian Santang kepadanya:
“Kek, dimanakah tempat tinggal Baginda Ali?”
Kakek itu tidak segera menjawab. Diperhatikannya Kian Santang baik-baik.
“Siapakah engkau, Nak?” tanya serayu mengerutkan dahi.
“Aku Kian Santang dari Tanah Jawa. Aku ingin mengadu kesaktian dengan Baginda Ali!” jawab Kian Santang yakin.
“Oh…! Mari ikut aku!” kata kakek itu sambil beranjak.
Mereka lalu pergi dari tempat itu. Tetapi baru beberapa saat aja, kakek tua itu menoleh kebelakang.

”Oh tongkatku ketinggalan, Nak. Bisakah engkau mengambilnya?”
Kian Santang mengangguk, lalu kembali ketempat tadi. Dilihatnya tongkat itu menancap ditanah, didekat pohon kurma. Kian Santang mengambilnya. Tapi tongkat itu tidak tercabut. Kian Santang mengerahkan tenaganya. Di pegang kuat-kuat dan di cabutnya dengan seluruh kekuatan. Tongat itu tidak terangkat sedikitpun. Kian Santang mulai berkeringat. Dicobanya kembali mencabut tongkat itu. Kini ia membacakan mantra dan jampi-jampi kesaktiannya. Tapi bukan tongkat yang tercabut, bahkan kakinya yang amblas kedalam tanah. Makinkeras dia mencabut tongkat, makin dalam kakinya amblas kedalam tanah.

Kian Santang putus asa dan dia merasakan adanya keanehan. Sementara kakek tua berada disampingnya. Kini Kian Santang yang memperhatikan baik-baik kakek tua itu. Ditatapnya dari ujung rambut hingga keujung kaki. 
“Siapakah kau sesungguhnya, kek?” tanya Kian Santang terengah-engah. Kakek tua itu
tersenyum penuh arti. Wajahnya tampak bersih bersahaja dan amat menyejukan.
“Akulah Baginda Ali yang kau cari!”
Bukan main kagetnya kian santang. Tubuhnya lemas seketika. Hilang segala daya dan kekuatan yang dia miliki selama ini. Dialah orang yang paling digjaya ditanah Jawa, tapi dihadapan baginda Ali dia bagaikan sebutir pasir dipadang pasir.

Baginda Ali segera mengangkat tubuh Kian Santang, dan tongkat itu dicabutnya dengan sangat mudah sekali. Kian Santang lalu bersujud di hadapannya.
“Hamba menyatakan takluk, dan menyerahkan diri kepadamu, baginda!” kata Kian Santang takzim.
“Berserah dirilah kepada Allah, bukan kepada ku. Dialah pemilik segala kekuatan. Allah yang maha gagah dan maha perkasa!”
Suara Baginda Ali seperti bergema , mengalun jauh kerelun-relun hati kian santang yang paling dalam.

“Manusia tidak memiliki daya dan kekuatan apa-apa, kecuali Allah. Dan ilmu Allah, andai saja air lautan dijadikan pena untuk melukisnya, maka tidaklah akan mencukupi. Ilmu yang kita miliki, hanya setetes saja dari luasnya lautan ilmu Allah lihatlah, bagaimana Allah menghamparkan bumi dan meninggikan langit, sanggupkah kita memikirkanya?”

Mendengarkan kata-kata itu, tubuh Kian Santang benar-benar bergetar. Ia tak tahan menahan gejolak perasaan yang berkecambuk didalam dadanya. Dan ia menangis tersedu-sedu. Tak terasa panas udara padang pasir, karena kesejukan Baginda Ali yang meresap kedalam kalbunya.

“Dapatkah hamba berguru pada Baginda?” tanya Kian Santang kemudian.
“Masuklah kedalam agama Islam” jawaban Baginda Ali.
“Bagaimana caranya?”
“Ucapkan dua kalimat pengakuan, asyhadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhamamadar rasullah”
Diulangi kalimat itu beberapa kali, lalu dituntutnya Kian Santang untuk mengucapkanya
Kian Santang telah masuk islam. Agama yang paling sempurna yang diturunkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sejak itu Kian Santang tinggal di negri Mekkah. Berguru kepada Baginda Ali dan mempelajari berbagai ilmu agama islam. Dibacanya Al-Qur’an setiap malam dan direnungkan mutiara yang terkandung didalamnya. Betapa Kian Santang merasakan kesejukan luar biasa setiap kali menghayati tiap-tiap mutiara ayat tersebut. Dadanya penuh seraya ikhlas menyarahkan diri seluruhnya kepada sang pencipta.



Bersambung (Kian Santang 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar