Rabu, 14 Desember 2011

OTHELLO

Yuharman
11.2010.014 p
OTHELLO
(The summary)



Major characters :
Othello, General of the Venetian army.
Desdemona, Othello's wife, Brabantio's daughter.

Minor characters :
Iago, Othello's ensign.
Emilia, Iago's wife, Desdemona's waiting gentlewoman.
Brabantio, Desdemona's father, a Senator of Venice.
Roderigo, a sucker.
Cassio, Othello's lieutenant.
Lodovico, a Venetian noble.
Montano, Governor of Cyprus before Othello.


Iago hates Othello, because he has given Cassio a promotion which he has expected to be his before. At the same time, Roderigo falls in love with Desdemona. He is  disappointed, as Desdemona has been Othello’s wife. The  two men then develope a conspiracy to put away Othello.
At any occasions, Iago tries to drop Othello into a harmful dan difficult condition. Once, he tries to raise a conflict between Othello and his father in law, Brabantio who is a Senator of Venice. He tries to provoke a brawl, but Othello manages to control the situation.

The next time, Iago tries to raise Othello's suspicions towards his wife Desdemona. He tries to make Othello believe that his wife is not faithful to him. She has a special relationship with Cassio. Iago contrives to get  Cassio drunk, so that Othello has to dismiss him from his post. Then, he advises Cassio to ask Desdemona to use her influence with her husband to give his work back.
After that Iago persuades Othello that if he hides himself, he will see Desdemona talk to Casio.

Iago arranges it in such away, so  while Cassio is talking to Desdemona, Othello comes. Iago succeeds in making Othello believe that his wife has an affair with Casio. Iago continues fanning  the fires. He says that he has ever seen Cassio with Desdemona’s handkerchief. As Desdemona can not show him her handkerchief (which has been in fact taken by Iago’s wife,  Emilia), Othello thinks  that  Iago’s story is completely right. Othello leaves Desdemona angrily and decides that both Cassio and Desdemona must be killed.

At the climax of the play, Roderigo attacks Cassio, but he wounds him. Iago wounds Cassio from behind and then runs away. Thinking that Cassio is dead, Othello goes to kill Desdemona. He smuthers and finishes her. Suddenly, Emilia comes dan reveals Iago’s conspiracy. Then, Lodovico enters, followed by Montano, Cassio, and Iago, who has been captured. They give more proof of Iago’s guilt. However, Othello will be returned to Venice for trial. As they are about to go, Othello asks for a chance to say "a word or two." He speaks of how he wants to be remembered, then stabs himself, kisses Desdemona, and dies.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaaf


Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Palembang. Banyak ulama dari berbagai penjuru Nusantara mengaji kepada beliau.

Ada pendapat, Palembang bisa di ibaratkan sebagai Hadramaut (markas para Habib dan Ulama besar). Sebab di Palembang memang banyak Habib dan Ulama besar, demikian pula makam-makam mereka. Salah seorang diantaranya adalah Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaaf, yang juga dikenal sebagai wali masthur. Yaitu wali yang karamah-karamahnya tersembunyi. Padahal karamahnya cukup banyak.

Salah satu karamahnya ialah ketika beliau menziarahi orang tua beliau (Habib Hamid Al-Kaff dan Hababah Fathimah AL-Jufri) di kampung yusrain, 10 Ilir Palembang. Dalam perjalanan kebetulan turun hujan lebat dan deras. Untuk bebrapa saat beliau mengibaskan tangan beliau ke langit sambil berdoa. Ajaib, hujanpun reda.

Nama beliau adalah Ahmad bin Hamid Al-Kaff. Sampai di akhir hayat beliau tinggal di jalan K.H. Hasyim Asy’ari No. 1 Rt 01/I, 14 Ulu Palembang. Beliau lahir di Pekalongan Jawa Tengah dan dibesarkan di Palembang. Sejak kecil beliau diasuh oleh Habib Ahmad bin AbduLlah bin Thalib Al-Attas.

Uniknya, hampir setiap pagi buta Habib Ahmad Alatas menjemput muridnya ke rumahnya untuk shalat subuh berjama’ah karena sangat menyaynginya. Saking akrabnya, ketika bermain-main di waktu kecil, Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff sering berlindung di bawah jubah Habib Ahmad Alatas. Ketika usia 7 tahun saat anak-anak lain duduk di kelas satu madrasah Ibtidaiyyah, Habib Ahmad belajar ke Tarim Hadramaut Yaman bersama sepupunya Habib Abdullah-yang akrab dipanggil Endung.

Di sana mereka berguru kepada Habib Ali Al-Habsyi. Ada sekitar 10 tahun beliau mengaji kepada sejumlah ulama besar di Tarim. Salah seorang guru beliau adalah Habib Ali Al-Habsyi, ulama besar penulis Maulid Simtuth Durar. Selama mengaji kepada Habib Ali Al-Habsyi , beliau mendapat pendidikan disiplin yang sangat keras. Misalnya sering hanya mendapatkan sarapan 3 butir kurma. Selain kepada Habib Ali , beliau juga belajar tasawuf kepada Habib Alwi bin AbduLlah Shahab . sedangkan sepupu beliau Habib Endung belajar fiqih dan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf dan balaghah. Sepulang dari Hadramaut pada usia 17 tahun . Habib Ahmad Al-Kaff menikah dengan Syarifah Aminah Binti Salim Al-Kaff . meski usianya belum genap 20 tahun namun beliau sudah mulai dikenal sebagai ulama yag menjalani kehidupan zuhud dan mubaligh yang membuka majlis ta’lim. Dua diantara murid beliau yakni Habib alwi bin Ahmad Bahsin dan Habib Syaikhan Al-gathmir belakangan dikenal pula sebagai ulama dan mubaligh.

Selain di Palembang, Habib Ahmad juga berdakwah dan mengajar di beberapa daerah di tanah air, misalnya madrasah Al-Khairiyah Surabaya. Salah seorang murid beliau yang kemudian dikenal sebagai ulama adalah habib Salim bin ahmad bin Jindan ulama terkemuka di Jakarta, yang wafat pada tahun 1969.
Ketinggian ilmu dan kewalian Habib Ahmad al-Kaff diakui oleh Habib Alwi bin Muhammad al Haddad ulama besar dan wali yang bermukim di Bogor. Diceritakan pada suatu hari seorang Habib dari Palembang (Habib Ahmad bi Zen bin Syihab) dan rekan-rekannya menjenguk Habib Alwi, mengharap berkah dan hikmahnya.

Mengetahui bahwa tamu-tamunya dari Palembang, dengan spontan Habib Alwi berkata, “Bukankah kalian mengenal Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff ?. Buat apa kalian jauh-jauh datang ke sini, sedangkan di kota kalian ada wali yang maqam kewaliannya tidak berbeda denganku ? saya pernah bertemu dia di dalam mimpi”. Tentu saja rombongan dari Palembang tersebut kaget. Maka Habib Alwi menceritakan perihal mimpinya. Suatu hari Habib Alwi berpikir keras bagaimana cara hijrah dari bogor untuk menghindari teror dari aparat penjajah belanda. Beliau kemudian bertawasul kepada RasuluLlah SAW, dan malam harinya beliau bermimpi bertemu RasuluLlah SAW memohon jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya. Yang menarik, di sebelah Rasul duduk seorang laki-laki yang wajahnya bercahaya.

Maka RasuluLlah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya semua jalan keluar dari masalahmu ada di tangan cucuku di sebelahku ini”. Dialah Habib Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff. Maka Habib Alwi pun menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada Habib Ahmad al-Kaff- yang segera mengemukakan pemecahan/jalan keluarnya. Sejak itulah Habib Alwi membanggakan Habib Ahmad al-Kaff.

Sebagaimana para waliyullah yang lain, Habib Ahmad al-Kaff juga selalu mengamalkan ibadah  khusus. Setiap hari misalnya, Mursyid Tariqah Alawiyah tersebut membaca shalawat lebih dari 100.000 kali. Selain itu beliau juga menulis sebuah kitab tentang tatacara menziarahi guru beliau Habib Ahmad Alatas. Beliau juga mewariskakn pesan spiritual yang disebut Pesan Pertanyaan yang empat, yaitu empat pertanyaan mengenai ke mana tujuan manusia setelah meninggal.

Lahirnya empat pertanyaan tersebut bermula ketika Habib Ahmad al-Kaff diajak oleh salah seorang anggota keluarga untuk menikmati gambus. Seketika itu beliau berkata, “Aku belum hendak bersenang-senang sebelum aku tahu apakah aku akan mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayatku. Apakah aku akan selamat dari siksa kubur, apakah timbangan amalku akan lebih berat dari dosaku, apakah aku akan selamat dari jembatan shiratal mustaqim”. Itulah yang dimaksud dengan “empat pertanyaan” yang dipesankannya kepada para murid, keluarga dan keturunannya.

Habib Ahmad al-Kaff wafat di Palembang pada 25 Jumadil akhir 1275 H/1955 Masehi. Jenasah beliau dimakamkan di komplek pemakaman Telaga 60, 14 Hulu Palembang. Beliau meninggalkan lima anak : Habib Hamid, Habib AbduLlah, Habib Burhan, Habib Ali, dan Syarifah Khadijah.

http://manakib.wordpress.com/2008/01/04/habib-ahmad-bin-hamid-al-kaaf-waliyullah-dengan-empat-pesan/

Warga Sindangwangi Temukan Patilasan Kiansantang

Sindang Wangi (Sinar Media)


Sekelompok warga yang mengatasnamakan komunitas sanggar Pandan Wangi dari desa Jeruk Leueut Kec. Sindangwangi, belum lama ini telah menemukan salah satu situs sejarah berupa patilasan berupa batu besar yang diduga kuat milik prabu Kiansantang yang merupakan putra dari Prabu Siliwangi.
Lokasi patilasan tersebut terletak di atas bukit lingga tepatnya berada di blok Paningkiran desa Cangkoak Kec. Dukupuntang Kab. Cirebon, walaupun lokasinya berada di kabupaten tetangga namun sanggar Pandan Wangi sebagai penemu pertama kali kini tengah melakukan penataan disekitar situs. Selain itu warga juga menemukan goa yang diyakini merupakan goa kemulyaan dan konon lorong goa bisa tembus keempat penjuru dunia.


Keanehan lainya batu yang sudah berusia ratusan tahun ini selalu ditetesi air, namun walau batu tersebut terus tertesi air permukaan batu tetap rata. Pepatah yang sudah dikenal Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legokseolah tidak berlaku pada batu yang satu itu. Dan keanehan yang terkahir yakni terdapat batu yang dinamakan warga sebagai batu perundingan, batu besar seukuran dua lingkaran orang dewasa itu tampak rata terbelah seperti telah dibelah oleh samurai yang panjang.
“Kami percaya bahwa batu tersebut merupakan sebuah meja sewaktu perundingan atau musyawarah, ketika prabu Kiansantang dan rekannya Nyimas Pangkuwati, Nyimas Gandasari termasuk Syekh Syarif Arifin yang makamnya ada di desa Sindangwasa Kec. Palasah menyusun strategi untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah tiga Cirebon,” ungkap kuncen setempat, Darsono saat ditemui Sinarmedia belum lama ini.
“Logikanya adalah mengapa dulu ada orang yang mau susah payah menaiki bukit ini, hanya untuk membelah sebuah batu, jika tidak ada maksud tujuannya?” Ungkapnya secara retorik.
Seorang warga asal Rajagaluh, lulusan filsafat sejarah, yang datang ke lokasi bersama wartawan Sinarmedia, M. Nurchozin mengatakan, penemuan patilasan di bukit Lingga itu mungkin merupakan rangkaian sejarah yang hilang, yang sedang dicari-cari para sejarawan.
“Kalaulah memang ada tiga keajaiban batu yang tidak masuk akal secara logika. Batu yang hampir jatuh namun tetap kokoh berdiri, batu yang tetap utuh setelah ditetesi air selama ratusan tahun dan batu musyawarah yang seperti bentuk meja yang terbuat dari kayu, hanya saja tidak rata. Mungkin itu merupakan sejarah yang perlu dikaji dan dipelajari kembali, dan memungkinkan untuk dicatat dalam dokumentasi sejarah.”  Ujarnya.
Ketua Sanggar Pandan Wangi, Sanenta mengatakan, pihaknya bersama rekan-rekannya merupakan sekelompok orang yang ingin peduli dan didukung sepenuhnya oleh sebagian besar warga Cangkoak untuk melestarikan patilasan di bukit Lingga ini. Dengan tujuan supaya orang tahu dan mengenal bagian sejarah yang hilang.
“Supaya mereka tahu kebenaran sejarahnya dan supaya orang lain mengetahui. Bahwa ada patilasan bersejarah di perbatasan Majalengka dan Cirebon ini. Meskipun belum terpublikasi, namun, kabar dari mulut ke mulut yang pernah berkunjung ke buklit ini yaitu dari Sumedang, Indramayu dan Majalengka terkadang ada yang datang ke sini sekedar untuk kemping. Warga dan kasepuhan tidak melarang, akan tetapi mereka yang berkunjung itu tidak dibolehkan mandi di tujuh sumber mata air, yang tidak pernah kering meski sedang kemarau panjang . Pernah ada lima pemuda yang kemping dan mereka mandi di salah sumber mata air ini, besoknya mereka ditemukan telah meninggal. Itu sudah lama, beberapa tahun yang lalu.” Ungkap Sanenta yang akrab dipanggil Aung, warga Sindangwangi itu.
Lebih lanjut Aung mengatakan, dalam satu bulan ini, Sanggar Pandan Wangi bersama warga Cengkoak telah mencoba untuk membangun jalan menuju puncak yang berjarak 20 meter dari sumber mata air yang ada tujuh itu dengan dana swadaya. Selain keanehan batu, di puncak itu ada sebuah goa yang diyakini sebagai tempat penyimpanan harta karun.
“Kita tidak tahu pasti, akan tetapi jika daerah ini menjadi obyek wisata ziarah, mungkin itulah harta karun yang dimaksud. Apakah cerita yang kami dapat dari nenek moyang secara lisan itu adalah benar adanya, kami belum tahu. Yang jelas, kami membutuhkan bantuan dari berbagai kalangan, baik itu yang berada di daerah Kabupaten Cirebon maupun Kab. Majalengka. ” Tambahnya.
Salah seorang kuncen lainnya, Sumana mengatakan, sepanjang pengetahuanya  patilasan ini sudah ada sejak 1518 M. Hanya saja mustahil jika memang ada harta karun di sini.
“Yang kami tahu, goa ini dulunya adalah semacam goa kejayaan, semacam lorong waktu yang bisa tembus ke empat penjuru dunia yaitu Mekkah, Garut, Ciremai, Pajajar dan Keraton Cirebon. Akan tetapi kita pun belum tahu pasti kebenarannya. Wallahu A`lam Bisshowab.” Ungkapnya.
Kepala desa Cangkoak, Maskana mengatakan mayoritas warga sangat menginginkan adanya pembangunan untuk penataan di bukit Lingga ini. Hanya saja kami terkendala dana. Kami tidak akan merubah posisi batu atau hal lainnya, hanya saja kami ingin menjadikan daerah ini sebagai obyek wisata ziarah yang patut mendapat tempat untuk dikunjungi, karena bagaimanapun juga, hal ini bisa jadi merupakan rangakaian sejarah yang belum terdokumentasikan.
“Kita sudah mengajukan ke pemda Cirebon namun jika melihat dari sejarah, sepertinya ini tidak saja menyangkut wilayah, akan tetapi menyangkut nilai sejarah yang belum terdokumentasikan. Karena itulah kita sedang mencari dana dan donatur. Dan sekarang kita sedang butuh dana. Dari dinas provinsi Jawa Barat bidang Kepurbakalaan, dulu pernah ada meninjau ke sini tahun lalu. Akan tetapi sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya.“  tambahnya. (Erik)

Jumat, 12 Agustus 2011

Ki Merogan Palembang

Jika kita melongok ke tepian sungai Ogan di Kerta Pati, kita akan melihat sebuah mesjid dengan arsitektur yang sangat mirip dengan Mesjid Agung. Itulah mesjid Ki Merogan, yang menunjukkan berbagai budaya yang berkembang di masyarakat Palembang waktu itu, yaitu perpaduan antara Melayu dan timur dengan ciri keterbukaan.

Masjid Kiai Merogan ini merupakan masjid kedua yang dibangun di Palembang, setelah Masjid Agung. Masjid Kiai Merogan didirikan pada tahun 1310 H atau 1890 M oleh ulama Palembang yang sangat terkenal, yaitu Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Merogan dengan biaya sendiri. Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau Kiai Merogan ini dilahirkan pada tahun 1811 M dari seorang ulama dan pedagang yang sukses.

Kiai Merogan mendirikan masjid tersebut dengan sebuah naskah yang terdapat tulisan “Nuzar Nujal Lillahi Ta’alai” pada tanggal 6 Syawal 1310 H. Di masa Kesultanan Palembang masjid ini punya peran yang strategis dalam berbagai kegiatan keagamaan dan sosial masyarakatPalembang.

Kiai Merogan senantiasa mengajarkan zikir kepada pengikutnya dengan cara yang unik. Apabila Beliau akan pergi-pulang dari Masjid Kiai Merogan ke Masjid Lawang Kidul, sambil mengasuh perahu Beliau dan pengikutnya bersama-sama menyenandungkan zikir secara berulang-ulang. Karena itulah penduduk sekitar tahu kalau Kiai Merogan sedang lewat dan sejak itulah Beliau dikenal dengan nama Kiai Merogan. Nama Kiai Merogan sesuai dengan aktivitas Beliau yang sering berada di kawasan Muara sungai Ogan yang airnya mengalir ke sungai Musi.

Tidak hanya Masjid Kiai Merogan yang dibangun Kiai Merogan, tetapi Masjid Lawang Kidul yang berada di tepi Sungai Musi, di daerah seberang ilir, kelurahan 5 ilir. Selain itu, Kiai Merogan juga mendirikan masjid di desa Pedu, Pemulutan, OKI dan masjid di desa Ulak Kerbau Lama, Pegagan Ilir, OKI. Sangat disayangkan, kebakaran yang terjadi pada tahun 1964—1965 telah menghanguskan peninggalan karya tulis Kiai Merogan.

Semasa hidupnya, Ki Merogan melakukan pelawatan ke Mekkah dan Saudi Arabia untuk menuntut ilmu agama. Namun, selama berada di negeri orang, Beliau senatiasa terbayang dan teringat pada “Si anak Yatim” yang berada di tepian Sungai Ogan dan tepian Sungai Musi, yang tak lain adalah Masjid Kiai Merogan dan Masjid Lawang Kidul.
Kiai Merogan meninggalkan para pendukungnya pada 31 Oktober 1901 dan dimakamkan di sekitar Masjid Kiai Merogan Meskipun, Kiai Merogan telah lama tiada, makamnya dikeramatkan hingga kini dan senantiasa ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah untuk berdoa dan mendapat berkah.
Kiai Merogan dapat dipandang sebagai sejarah kolektif (folk history). Cerita-cerita orang-orang suci (legends of the saints) dapat terus hidup di tengah masyarakat pendukungnya.

Cerita-cerita mengenai kemujizatan, wahyu, permintaaan melalui sembahyang, kaul yang terkabul, dan lain-lain dapat kita peroleh melalui pewarisan lisan dari waktu ke waktu, di antaranya kisah mengenai ikan.

Pada suatu waktu ada pedagang ikan yang berasal dari OKI membawa ikan yang hendak dijualnya ke Palembang. Namun, ketika sampai di Palembang, semua ikan-ikan tersebut mati. Lalu, pedagang itu teringat akan kemasyuran Kiai Merogan. Kemudian pedagang tersebut menemui Kiai Merogan untuk meminta nasihat. Belum sempat pedagang itu berkata sepatah katapun, Kiai Merogan langsung berkata, “Insya’Allah, semua ikan-ikanmu hidup dan dapat dijual ke pasar!” Ketika sampai di perahu, pedagang itu melihat seluruh ikan-ikannya hidup.

Kisah lainnya, ketika seseorang ingin membuktikan kekeramatan Kiai Merogan dengan cara melepas seekor ikan yang besar, sambil berkata “Hai ikan, pergilah Engkau menemui Kiai Merogan di Masjid Merogan sebagai hadiah dariku!” beberapa hari kemudian, orang tersebut menemui Ki Merogan. Belum sempat mengutarakan maksudnya, sang Kiai lebih dulu menyapanya dan berkata kalau kirimannya sudah sampai dan diterima dengan baik.

Kiai Merogan memang telah lama tiada, namun peninggalannya tetap abadi dan berdiri kokoh. Kisah, perjuangan, dan ajarannya senantiasa hidup, hadir, dan menjadi teladan masyarakat pendukungnya dari waktu ke waktu.





Karomah Ki Merogan Palembang


Dalam Kelapa Ada Ikan
Ratusan tahun yang silam , Tersebutlah kisah tentang seorang ulama besar yang cukup ternama. Ki Mgs H A Hamid namanya. Mubalig yang mengajar  Agama Islam tidak saja berada dalam kota Palembang, bahkan beliau juga mengajar sampai ke desa –desa yang terpencil.

Banyak sekali kisah gaib dalam kehidupan mubalig ini ia lebih dikenal dengan sebutan Ki Muara Ogan sampai dengan sekarang. Bahkan makamnya masih hingga kini di kujungi masarakat  yang berada di Palembang juga dari luar .
Ki Muara Ogan panggilan akrabnya, kemana-mana pergi untuk mengajar  dan menyebarkan Agama Islam selalu menggunakan perahu, bila tempat mengajar yang tetap maka ia akan mendirikan mesjid disana.

Suatu ketika saat menuju ketempat mengajar, Ki Muara Ogan menasehati pada muridnya,”Murid-muridku sekalian ikuti apa yang akan aku ajarkan ini.”
“Baik guru,”jawab muridnya sambil mendayungkan perahu menuju  kelokasi di  tempat  ia mengajar.
Dalam perjalanan   itu Ki Muara Ogan menuturkan ,”Baik demikian amalan itu, La illaha illahu malikul hakul  mubin Muhammad Rasulullah Shodikul wa adil Amin,” begitu juga murid mengikuti apa yang disampaikan ulama tersebut.
Ki Muara Ogan sepulang dari memberikan petuah-agamanya, ia kembali menuju ketempat tinggalnya, yaitu berada di Kertapati , hingga sekarang mesjid itu masih berdiri kokoh.
Begitu besar keyakinanya pada Allah, ketika itu di tahun 1911, dizaman pemerintahan  penjajahan Belanda, seorang dari prajurit Belanda berkata pada Ki Muara Ogan,” tanah untuk kereta api ini harus di perluas.”
Ki Muara Ogan dengan tenang menjawab,”Tanah itu akan menggeser tanah pabrik kayu milik kami.”
“Kami tahu tuan, tapi perluasan tanah ini untuk kepentingan masarakat banyak,” ungkap prajurit utusan Belanda itu kepada Ki Muara Ogan.
                                                          1.
Ki Muara Ogan menganggukan kepala , “baik kami iklas ini untuk kepentingan masarakat dan negera, silahkan.”

Setelah itu pabrik kayu milik Ki Muara Ogan ini dipindahkan ke Kampung Karang Anyar, dan pabrik ini diberikan pada Mgs H M Abumansur. Tanah wakap milik Ki Muara Ogan itu, hingga kini jadi milik PT Kereta Api.
Pada saat itu, Ki Muara Ogan tengah mengadakan ceramah, yaitu berada di Mesjid Ki Muara Ogan  Kertapati, sehingga terdengar dengan  sangat lantangnya,”Bumi berserta isinya adalah milik Allah ,”
Jemaah mendengarkan itu dengan penuh perhatian  sekali, sehingga terasa sejuk dan nyaman bagi siapa yang mendengarkan pada waktu itu.
Disaat itu tak lupa beberapa orang Belanda mendengarkan dan menyaksikan ceramah yang disampaikan oleh Ki Muara Ogan tersebut, tentu tugas mereka hanya untuk mengawasi kegiatan yang dilakukan Ki Muara Ogan.
Kembali terdengar dengan lantang apa yang disampaikan oleh Ki Muara Ogan, yang menyampaikan petuahnya pada jamaah,”Kekuasaan Allah itu adalah maha besar, jika ia berkata jadi maka jadilah ia.”
Penuh perhatian sekali jamaah menyimaknya, sehingga kembali terdengar seruannya,”Allah mengetahui  apa-apa yang tidak di ketahui   oleh manusia.”
Seorang hadirin  bertanya,”Guru apa misalnya kekuasaan Allah yang tidak mungkin di ketahui oleh manusia itu ?
“Begini ,”kata Ki Muara Ogan sambil ia berdiri dihadapan para jamaahnya.”Misalnya tiap-tiap ada air didalamnya selalu akan ada ikannya?”
Mendengar itu spontan seorang prajurit  Belanda yang tengah mengawasi Ki Muara Ogan dari sejak tadi, tiba-tiba  berkata,”Bagaimana dengan air kelapa,  apakah ada juga ikannya?”
“Insya Allah jika Allah menghendaki maka ikan itu akan ada,” tegas Ki Muara Ogan sembari mulut tetap berkomat- kamit menyebut nama Allah.
                                                         
Serta merta prajurit itu pandangannya mengarah keluar mesjid,”Ki apakah kelapa itu juga ada ikanya?” kembali prajutit itu menunjukan pada sebuah pohon kelapa yang ada di luar.
Serentak Ki Muara Ogan berserta dengan para jamaahnya menuju keluar, untuk membuktikan kekuasaan Allah tersebut, maka di perintahkanlah seorang murid Ki Muara Ogan memanjat sebuah pohon kelapa, sejenak saja sebuah pohon kelapa di letakan di hadapan Ki Muara Ogan juga disaksikan oleh para jamaah lainya yang hadir pada saat itu.
Sehingga pada waktu itu juga, di persilahkan oleh Ki Muara Ogan pada prajurit Belanda itu sendiri untuk    membuktikan kebesaran Allah pada penciptanya.

Pada saat itu juga dengan tiba-tiba sekali, prajurit Belanda itu segera memotong kelapa yang ada di hadapannya waktu itu, sungguh hal yang sangat tidak dapat di kira dari dalam kelapa yang di potong itu muncullah seekor ikan seluang, sejak saat itu sekitar masjid Ki Muara Ogan terdapat ikan Seluang dan di sekitar mesjid tetap berdiri pohon kelapa.

Pernah juga Kisah aneh terjadi, ketika Ki Muara Ogan bersama dengan ketujuh muridnya pulang dari menyebarkan agama Islam, pada waktu itu mereka terhambat karena tidak ada perahu yang akan menyeberangkan  di sungai Ogan .
Namun dengan keyakinan yang ada dalam jiwa Ki Muara Ogan , serta merta ia membentangkan salnya, yang selalu berada di pundaknya itu, ia letakan di atas air.”Silahkan kalian duduk di sal itu.” Perintah Ki Muara Ogan pada muridnya yang sedang ikut serta itu.
Karena itu adalah perintah seorang guru, muridnya yang yakin tanpa banyak komentar segera saja ia duduk di atas sal itu, tetapi bagi muridnya yang merasa ragu ia akan diam, atau ia akan bimbang.
“Naiklah wahai muridku, maka kau tidak akan tenggelam,” kata Ki Muara Ogan, namun ada seorang murid yang tidak mau ikut, tetapi yang sudah ikut serta segera saja mereka berjalan seperti layaknya mereka naik sebuah perahu saja.
                                                                 
Setelah itu kembali ia menjemput muridnya yang tadi tinggal tersbut, barulah muridnya itu merasa yakin, karena ia sudah melihat kenyataan itu. Muridnya yang tinggal itu ikut kembali menyeberang .Ketika hampir saja tiba diseberang muridnya itu masih saja merasa ragu, sehingga ia terjatuh, dan segera ia berenang ketepi sungai itu.
Disaat itu Ki Muara Ogan berkata pada muridnya, “Itulah akibat jika seorang hamba belum yakin pada kebesaran Allah, sehingga masih adanya suatu keraguan yang tersimpan dalam pikiran dan hatinya. Untuk itu kamu harus kembali memperkuat iman kepada Allah yang telah menciptakan mahluknya  .”

Kisah ini menjadi kisah yang di sampaikan dari mulut kemulut oleh warga kota Palembang, sehingga menjadi warisan kisah turun temurun yang ada di wilayah Sumatera Selatan pada umumnya.

                                              

Karomah Ki Khalil Madura 3


7. SURAT KEPADA ANJING HITAM
Musim haji telah tiba. Sebagaimana biasanya, penduduk daerah Bangkalan yang akan menunaikan ibadah haji terlebih dahulu sowan kepada Kiai Kholil. Fulan calon jamah haji Bangkalan. Menjelang keberangkatannya, terlebih dahulu menyempatkan sowan ke Kiai Kholil. Kiai, ketika melihat diantara tamu terdapat si Fulan, maka segera menyuruh mendekat. “Fulan, ini surat. Sesampainya di Masjidil Haram, berikan surat ini kepada anjing hitam.” Pesan Kiai kepada si Fulan dengan datar. “Ya, Kiai. Saya akan menyampaikan surat ini.” Jawab si Fulan tanpa berani menatap dan bertanya kenapa Kiai menyuruh demikian. Sesusai sowan kepada Kiai, Fulan langsung pulang ke rumahnya. Berbagai kecamuk dan pertanyaan dibenakknya. Hari keberangkatan pun tiba. Dengan niat yang ikhlas, Fulan berangkat ke tanah suci. Sesampainya di Makkah, Fulan menunaikan Ibadah hajinya dengan baik. Sungguhpun demikian, Fulan belum tenang kalau amanat yang dipesankan Kiai Kholil belu dilaksanakan. Segera fulan pergi ke halaman Masjidil Haram, terdorong karena patuhnya kepada Kiai Kholil, ingin segera menyampaikan pesan yang sangat aneh ini. Tapi bagaimana caranya? Tak disangka, ditengah keasyikannya merenung itu. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, didepannya sudah berdiri seekor anjing hitam. Tanpa pikir panjang lagi, Fulan segera meraih surat yang ada di sakunya. Seketika itu juga, disodorkannya surat itu kepada anjing hitam. Telinga anjing itu bergerak-berak, lalu menggigit surat itu pelan-pelan. Beberapa saat anjing itu menatap tajam wajah si Fulan seolah-olah ingin mengungkapkan rasa terima kasih. Setelah itu dengan langkah tenang dan wibawa, sang anjing hitam itu meninggalkan Fulan yang masih terpana. Dipandangnya anjing itu hingga tidak terlihat lagi dari pandangan mata Fulan. Fulan merasa lega. Sebab, amanat yang tidak dipahami itu sudah ditunaikan. Waktu pun bergulir hingga selesailah ibadah Rukun Islam yang kelima itu. Semua jamaah haji seantero dunia pulang ketanah airnya masing-masing begitu pula dengan fulan pulang ke Bangkalan. Bagi fulan, sungguhpun sudah selesai ibadah haji, namun kecamuk surat misterius itu masih melekat di benaknya. oleh sebab itu, setibanya di Bangkalan, pertama kali yang ditemuinya adalah Kiai Kholil. “Sudah disampaikan surat saya, Fulan?” Kata Kiai menyambut kedatangan Fulan. “Sudah, Kiai.” Tegas fulan lega. “Tapi, Kiai..” Kata fulan agak tersendat-sendat “Ada apa Fulan?” Kata Kiai Kholil tanpa menunjukkan ekspresi yang aneh. “Kalau boleh Tanya, kenapa Kiai mengirim surat kepada anjing hitam?” Tanya si Fulan terheran-heran. “Fulan, yang kamu temui itu bukan sembarang anjing. Dia adalah salah seorang wali Allah yang menyamar sebagai anjing hitam yang menunaikan Ibadah haji tahun ini.” Jelas sang Kiai. Mendengar keterangan Kiai Kharismatik itu, si Fulan baru memahami dan menyadari apa yang ada dibalik peristiwa itu. Dan sifulan pun hanya bisa menganggut sambil mengenang saat sang anjing berhadapan dengan dirinya.

8. ORANG ARAB DAN MACAN TUTUL
Dan diantara karomahnya, suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib[13]. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamu-tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab[14], habib tadi menghampiri Kiai Kholil seraya berucap : “Kiai, bacaan Al-Fatihah antum (anda) kurang fasih.” Tegur Habib. “O.. begitu?!” Jawab Kiai Kholil dengan tenang. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. “Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu, Habib. Silahkan ambil wudlu di sana.” Ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu. Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.

9. TONGKAT KIAI KHOLIL DAN SUMBER MATA AIR
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu; sumber mata airnya dapat menyembuhkan pelbagai macam penyakit[15]. Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan. Banyak orang yang datang dari jauh hanya sekedar untuk minum dan mandi. Mereka yakin bahwa air yang ada di sumber mata air di Langgundi itu, adalah jejak karomah-karomah Kiai Kholil yang diyakini membawa berkah.

10. MENYUMBAT KAPAL LAUT
Sebagai pimpinan pesantren, Kiai Kholil senantiasa mengimami sholat, tiba-tiba keluar dari jam’ah sholat menuju ke halaman masjid. Tangan Kiai Kholil bergerak ke kanan-kiri seakan berbuat sesuatu yang sangat menyibukkan. Hal ini sangat tidak dipahami para santri. Mereka hanya diam seribu bahasa, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah beberapa lama Kiai Kholil di halaman, lalu kembali mengimami sholat hingga selesai. Beberapa hari berlalu, begitu pula dengan kegiatan pesantren berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi bagi para santri peristiwa aneh yang tidak bisa dipahami beberapa hari lalu tetap menjadi tanda tanya. Para santri tetap penasaran sebelum terpecahkan. Hari demi hari berlalu, tidak ada tanda-tanda pemecahan peristiwa yang selalu diingat itu. Baru setelah beberapa hari setelah kejadian itu, datang beberapa orang membawa bungkusan yang sangat banyak. “Mau ke mana saudara-saudara ini?” Tanya seorang santri kepada tamu yang baru datang. “Saya akan menemui Kiai Kholil. Seminggu yang lalu beliau telah menolong kami dari musibah bocor kapal kami.” Jawab rombongan yang baru datang itu. “Seminggu yang lalu?” Pikir santri. Padahal beberapa minggu yang lalu, Kiai Kholil tidak pernah bepergian apalagi menyeberang laut. Akhirnya santri tersebut mengantarkan rombongan yang baru datang itu ke Kiai Kholil. Seperti biasanya, kalau Kiai kedatangan tamu, lalu bertanya: “Ada keperluan apa?” Ucap Kiai Kholil menyambut kedatangan tamu itu. “Kami ingin mengucapkan terima kasih berkat upaya Kiai yang menyumbat kapal laut kami yang bocor sehingga kami selamat. Kami tentu akan tenggelam jika tidak ada Kiai dan harta kami semua akan hilang begitu saja.” Ucap rombongan itu dengan wajah berseri-seri. Para santri yang sengaja mendengarkan pembicaraan di sekitar rombongan itu, seketika sadar dan memahami tentang kejadian seminggu yang lalu. Rupanya, ketika Kiai memimpin sholat jamaah lalu keluar ke halaman masjid dalam upaya menyumbat kapal bocor. Pantas tangan Kiai sibuk bergerak kian kemari. Sejak saat itu para santri menjadi tenang dan tidak penasaran lagi tentang peristiwa yang selalu diingatnya itu.

11. TIGA TAMU DAN ISTIGFAR
Dan diantara karomahnya. Suatu hari. Kiai Kholil kedatangan tiga orang tamu secara bersamaan. Lalu sang Kiai bertanya kepada tamu yang pertama: “Sampeyan ada keperluan apa?” “Saya seorang pedagang, Kiai. Hasil tidak didapat malah rugi terus menerus.” Ucap tamu pertama memohon. Setelah Kiai Kholil memandang sejenak ke arah tamu yang pertama, lalu menjawab: ”Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, banyaklah berucap istigfar.” Setelah itu tamu kedua menghadap: “Sampeyan ada perlu apa?” Saya sudah berkeluarga 18 tahun tapi saya belum diberi keturunan.” Setelah Kiai memandang kepada tamu kedua, maka dijawablah: “Perbanyak istigfar.” Tandas Kiai. Kini tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kiai langsung bertanya:, “Sampeyan ada perlu apa?” “Saya usaha tani, Kiai, namun makin hari hutang saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya.” Ucap tamu yang ketiga dengan muka raut yang serius. “Jika kamu ingin berhasil dan melunasi hutangmu, perbanyak istigfar.” Pesan Kiai kepada tamu yang terakhir. “Beberapa murid Kiai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Suatu persoalan yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, dengan resep yang sama, yaitu menyuruh perbanyak istigfar. Kiai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang maka dipanggil para santri yang penuh tanda Tanya itu. Lalu Kiai kholil membacakan surat nuh ayat 10-12 yang artinya: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya dia maha pengampun, niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu. Mendengar jawaban Kiai ini para santri mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji allah bagi siapa yang memperbanyak baca istigfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamu semuanya berhasil apa yang dihajatkan.

12. POLISI MENCARI PENCURI
Dan diantara karomahnya, seperti dikisahkan di bawah ini. Sudah lama polisi memburu seorang pencuri yang malang melintang disekitar kota Bengkalan. Beberapa cara telah dilakukan, namun hasilnya nihil. Aparat kepolisian hampir putus asa. Mereka kewalahan menangkap pencuri yang satu ini. Tidak tahu cara apa yang harus ditempuh. Pada saat kebingungan mencari cara, seorang polisi senior mendapat ide dan mengusulkan untuk sowan ke Kiai Kholil. Setelah dipertimbangkan, polisi itu memutuskan untuk menemui Kiai Kholil. Setibanya di kediaman Kiai kholil, seperti halnya tamu yang lainnya, Kiai menanyakan “Sampeyan ada keperluan apa?”. “Saya memburu pencuri, Kiai. Seluruh kota dan desa sudah dilacak, tapi tak ada hasil. Mohon petunjuk Kiai.” Ucap polisi dengan penuh harap. Beberapa saat Kiai memandang tamunya. Tiba-tiba Kiai memanggil seorang santri dan menyuruh membeli urus-urus. Urus-urus adalah obat yang digunakan untuk cuci perut. Istilah lainnya disebut broklat. Kiai Kholil lantas menyuruh polisi yang ada dihadapannya itu untuk meminum urus-urus. “Saya minum ini, Kiai ?” Kata polisi tadi, tak percaya dalam benaknya, apa hubunganya dengan pencarian pencuri. “Ya, minum cepat!” Tegas Kiai Kholil sekali lagi. Selesai meminum urus-urus, polisipun disuruh pulang memakai kendaraan umum. Dalam perjalanan pulang, tampaknya urus-urus mulai beraksi. Perut sang polisi mulai mules-mules. Sampai disuatu tempat tertentu, rasa mules-mules sudah memuncak. Tak ada jalan lain kecuali berhenti di tengah jalan dan mencari sungai untuk buang hajat. Setelah polisi berhenti, terlihat ada sungai yang tampaknya cukup curam dan dalam. Karena hajat tidak bisa ditahan lagi, maka walaupun rasa berat, sang polisi menuju sungai yang sangat curam itu, ketika berada di curam yang paling bawah, disitulah sang polisi memergoki pencuri yang selama ini dicarinya. Dengan sigap, polisi meringkus pencuri dan memborgolnya. Dengan tertangkapnya pencuri itu, sadarlah polisi terhadap maksud mengapa Kiai Kholil menyuruh meminum urus-urus. Rupanya inilah jalan yang harus ditempuh untuk mengetahui dan menangkap pencuri yang selama ini malang melintang di Bangkalan.

13. SUMUR KIAI KHOLIL
Ketika Kholil muda nyantri di Pesantren Cangaan Bangil bertepatan dengan musim kemarau panjang. Semua sumur mengalami kekeringan. Masyarakat Cangaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan air minum. Demikian juga di dalam kompleks lingkungan pesantren yang dipimpin Kiai Asyik. Dalam suasana seperti itu Kiai Asyik lalu memanggil Kiai Kholil menghadap: “Kholil..” Kata Kiai Asyik agak serius. “Ya, Kiai.” Jawab Kholil dengan sopan dan ta’zhim. “Sekarang kamu buat sumur, sebab saat ini musim kemarau, kita kesulitan air.” Perintah Kiai Asyik. “Insyaallah..” Jawab Kholil dengan tenang. Setelah diperintahkan Kiai, segera Kholil mengambil sebuah serok untuk menggali sumur. Terdorong sikap patuhnya kepada Kiai Asyik, Kholil segera menggali sumur. Upaya Kholil berhasil baru saja dia menggali satu meter ternyata air sudah menyembur keluar. Hal ini sangat menyenangkan Kiai Asyik dan warga pesantren. Berita sumur baru yang banyak mengeluarkan air itu ternyata tidak lama kemudian terdengar oleh masyarakat Cangaan Bangil. Betapa bahagianya masyarakat mendengar berita itu. Beberapa orangmasyarakat segera pergi ke sumur untuk mendapatkan air. Sejak itu masyarakat Cangaan Bangil berbondong-bondong mengambil air di sumur tadi sebanyak-banyaknya. Meskipun air sumur itu diambil terus-menerus oleh masyarakat, namun air tetap melimpah. Sumur itu sampai sekarang masih ada. Warga pesantren memeliharanya dengan baik warisan salah satu dari karomah Kiai Kholil. Masyarakat Cangaan menamakannya “Sumur Kiai Kholil”.

14. BERGURU DALAM MIMPI
Dan diantara karomahnya, adalah terjadi pada saat akan mencari ilmu. Pada waktu Kholil muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal!” Desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.

Karomah Ki Khalil Madura 2


4. SANTRI MIMPI DENGAN WANITA.
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya[9]. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: “Santri kurang ajar.., santri kurang ajar..“ Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya : “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata: “Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini” Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. “Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai.” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. “Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis.” Perintah Kiai kepada Bahar. Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap: “Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini.” Ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya. Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.

5. KIAI KHOLIL MASUK PENJARA
Diantara karomahnya dikisahkan: Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di Pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap para pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin, setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digerebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar. Karena kejengkelannya, akhirnya membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa perisriwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan demikian pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus menerus. Sebab jika tidak, maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus menerus. Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu, rupanya tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan, banyak yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasakhawatir, kalau dibiarkan berlarut larut suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja. Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara, sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara, kembali pulang kerumahnya masing-masing.

6. RESIDEN BELANDA
Dan diantara karomahnya, suatu hari, Residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah Colonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai Residen di Bangkalan. Padahal jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat. Residen itu berkata dengan Residen belanda yang lainnya. Hati nurani Residenyang satu ini tidak pernah menyetujui penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, Residen belanda yang simpati kepada bangsa Indonesia mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan, Kebetulan sang Residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna. Tanpa pikir panjang lagi, sang Residen segera pergi untuk menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu. Maka, berangkatlah sang Residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa kolegannya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang Residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tau siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap : “Tuan, selamat.., selamat.., selamat..” Ucapnya dengan senyuman yang khas. Residen Belanda merasa puas terhadap jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang. Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang Residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan. Sejak peristiwa itu, Kiai kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan, Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di Keresidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen maupun aparat Belanda semuanya menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai yang dianggap memiliki kesaktian luar biasa.