Jumat, 12 Agustus 2011

Karomah Ki Khalil Madura 1


1. PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK
Diantara karomahnya adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu. Kitab tersebut bernama Jurmiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula. “Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak. “Wa’alaikum salam, “ Jawab Kiai Kholil. Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya : “Sampean ada keperluan, ya?” “Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap. Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”. “Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap. “Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya. “Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil. Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak. Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaranempuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

2. DIDATANGI MACAN
Diantara karomahnya, pada suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Kiai Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam “Assalamu ‘alaikum,” ucapnyaagak pelan dan sangat sopan. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya, “Hey santri semua, ada macan.. macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan Kiai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam Kiai Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Kiai Kholil.

3. KETINGGALAN KAPAL LAUT
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya : “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas. “Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal. Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang. “Kiai Kholil?” pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya. “Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan. Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya : “Ada keperluan apa?” Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil. Tiba-tiba Kiai berkata : “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!” Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?” “Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa. “Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.” “Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan. “Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil. “Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh. Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam. “Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan. “Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil. Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal. “Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.


Ki Khalil Bangkalan Madura


Di desa Langgundih, Keramat, Bangkalan, adalah seorang Kiai berbangsa Sayyid bernama Asror bin Abdullah bin Ali Al-Akbar bin Sulaiman Basyaiban. Ibu Sayyid Sulaiman adalah Syarifah Khadijah binti Hasanuddin bin Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau dikenal dengan “Kiai Asror Keramat”, dinisbatkan pada kampung beliau. Kemudian oleh sebagian orang dirubah menjadi “Asror Karomah”, mungkin dalam rangka meng-arab-kan kalimat “Keramat”. Beliau menurunkan ulama-ulama besar Madura dan Jawa.

Kiai Asror memiliki putra dan putri. Diantara mereka adalah Kiai Khotim, ayah dari Kiai Nur Hasan pendiri Pesantren Sidogiri Pasuruan. Diantara mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini belum diketahui nama aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari mereka dinikahkan dengan Kiai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan).
Melalui Kiai Abbas, Kiai Asror memiliki cucu bernama Kiai Kaffal. Dan melalui Kiai Hamim, beliau memiliki cucu bernama Kiai Abdul Lathif. Kiai Abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah. Kemudian Nyai Maryam dinikahkan dengan Kiai Kaffal dan Nyai Sa’diyah dinikahkan dengan seorang Kiai dari Socah, Bangkalan.

Kiai Abdul Lathif adalah seorang da’i keliling. Beliau menjalani kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal keduniaan. Apalagi sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (ibu Nyai Maryam), sejak saat itu beliau lebih aktif da’wah ke kampung-kampung, beliaupun jarang pulang ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri.
Pada suatu hari, setelah beberapa tahun Kiai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan membawa seorang anak laki-laki kira-kira berumur tujuh tahunan. Kiyai Abdul Lathif berkata pada Nyai Maryam: “ Wahai Maryam, Aku telah menikah lagi dan ini adalah adikmu. Kutinggalkan ia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku mendidikmu.” Setelah itu Kiyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana biasa. Tidak ada yang tahu kapan persisnya kejadian itu, sebagaimana tidak ada yang tahu kapan persisnya Kiai Kholil di lahirkan. Sebagian sesepuh keturunan Syeh Kholil ada yang memperkirakan bahwa Syeh Kholil lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1835 M.

Cerita ini mengingatkan kita pada cerita Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau harus meninggalkan Isma’il, putra beliau yang masih bayi, di sebuah lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus pergi jauh ke Palestina untuk menjalankan tugas da’wah. Siapa yang tidak sedih menyimak cerita ini, seorang ayah yang bersabar meninggalkan anaknya yang masih kecil, padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan bercanda dengan anak seusia Kholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai Maryam, sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah yang mulai senja, inginnya hati Nyai Maryam merawat sang ayah, mestinya sang ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar, bhwa keluarga mereka adalah keluarga pengabdi pada agama, tidak ada istirahat untuk berda’wah sampai ajalpun tiba, istirahat mereka adalah di peraduan abadi bersama para leluhur mereka.
Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu Kiai Abdul Lathif tidak pernah pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir beliau melihat Nyai Maryam dan putra sulung beliau itu.


Kian Santang 4


Pada suatu saat Kian Santang menceritakan pengalamanya kepada Baginda Ali. Dan bertanya tentang tujuh suara yang didengarnya didalam perjalanan.
“Manusia memiliki tujuh lubang hawa nafsu. Dialah yang setiap saat menarik-narik kita untuk berbuat dosa, ketujuh lobang itu adalah mata, hidung, mulut, telinga, tangan, kaki, dan hati,“ Baginda Ali menjelaskan.
Kian santang mengangguk-angguk, meresapi penjelasan tersebut. Demikian Kian Santang menanyakan berbagai persoalan, dan teranglah hatinya manakala satu persoalan telah dibahas oleh Baginda Ali.**

Pada suatu hari, ketika Kian Santang telah merasa cukup berguru, dia permisi mohon pamit untuk kembali ketanah Jawa. Baginda Ali membekali dua macam barang. Yakni kitab Al-Quran dan sebuah untaian tasbih. Baginda Ali pun memberi wasiat bahwa Kian Santang harus menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Dengan ijin Allah, setelah membaca basmallah dan memejamkan mata, Kian Santang telah sampai di tanah Jawa, di negerinya yakni Kerajaan Pajajaran.

Ayahanda, Prabu Siliwangi tentu saja amat gembira melihat kedatangan putra tercintanya. Kian Santang disambut dengan suka cita, bahkan diadakan pesta meriah. Berbagai makanan dihidangkan. Bermacam kesenian ditabuhkan. Kian Santang tidaklah setuju dengan penyambutan seperti ini. Tapi dia tidak bisa mencegah kehendak ayahandanya. Dia khawatir ayahnya akan tersinggung dan luapan kegembiraannya terganggu.

Ketika pesta berakhir, Kian Santang di panggil ayahnya.
“Berceritalah anakku, apa yang engkau bawa dari negeri Mekah? Apakah engkau berhsil bertemu dengan Baginda Ali?” tanya Perabu Siliwangi.

“Alhamdulillah, Ayah! Ananda membawa mutiara yang tak ternilai harganya,”jawab Kian Santang. “Mutiara! Mutiara apakah gerangan? Dan mengapa kata-katamu menjadi aneh?” Sang perabu tampak keheranan.
“Inilah mutiara yang kumaksud, Ayah! ”jawab Kian Santang seraya menyondorkan Al-qur’an. “Kitab apakah ini?” Sang perabu semakin penasaran.
“Ananda telah memeluk agama Islam, Ayah. Inilah kitab Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat Allah, petunjuk untuk mencapai ketenangan dunia dan akhirat,” jawab Kian Santang dengan penuh keyakinan.

Seketika muka Sang Prabu merah padam. Dia menjadi murka mengetahui anaknya telah berpindah agama.

“Aku merestuimu bukan untuk menjadi orang sesat seperti ini!’ bentaknya penuh kemarahan.” Bukanya kepergianmu untuk mencari kesaktian?”.
“Kesaktian diri tidak terletak pada kedigjayaan yang kita miliki, Ayah. Manusia adalah makhluk lemah dan hina, hanya Allah pemilik segala kekuatan.” Kian Santang tetap bersikap tenang.
Aku tak ingin mendengar kata-katamu. Enyalah jika engkau tetap memeluk agama itu!” Sang prabu bangkit sambil menunjuk –nunjuk anaknya.
“Tidak, Ayah! Ananda ingin mengajak Ayah memeluk agam Islam. Dewa yang kita sembah selama ini Tuhan ciptaan manusia. Tuhan sesungguhnya adalah Allah, pencipta langit dan bumi.” “Kau telah menghina agama nenek moyangmu! Pergilah1 Aku mengusirmu dari keraton, bahkan dari negeri Pajajaran!” suara Sang Prabu semakin meledak makin geram.

“Baiklah, Ayah! Tapi ananda tidak akan pergi dari Pajajaran, sebelum rakyat memeluk agama Islam!” jawab Kian Santang lalu memohon pamit pada ayahnya.
Negeri Pajajaran segera terguncang. Berita agama baru yang dibawa Kian Santang telah menyebar kesluruh penjjuru negeri. Tidak sedikit diantaranya rakyat yang merasa penasaran, lalu diam-diam memeluk agama Islam.

Dalam waktu singkat, hampir seluruh rakyat menjadi pengikut Kian Santang. Hanya para pengikut setia Prabu Siliwangi yang masih memeluk agam nenek moyamg mereka. Dalam keadaan yang makin memanas, terjadilah hura-hura. Perang antara pengikut Kian Santang dan pengikut setia ayahnya, Prabu Siliwangi.

Karena dengan kekuatan yang tidak seimbang, Prabu Siliwangi yang hanya diikuti 40 orang prajurit, melarikan diri dari keraton. Pengejaran segera dilakukan. Pasukan Prabu bergerak menghindar kearah barat, sehungga sampai di Ujungkulon. Ditempat inilah mereka terkepung.

Konon menurut cerita, dalam keadaan terdesak, Prabu Siliwangi ngahiang, menghilang tanpa jejak di suatu temat di Ujungkulon. Tempat ngahiang tersebut kini dikenal dengan sebutan Sanghiyang Sirah. Sementara pengikutnya berjumlah 40 orang berganti wujud menjadi harimau. Itulah sebabnya, hingga kini di Ujungkulon jumlah harimau konon tetap berjumlah 40 ekor.

Kian Santang 3


Baginda Ali tidak memiliki kesaktian apapun!” kata suara yang lain.
Kian Santang menoleh kearah bawah. “Sia-sialah engkau pergi kenegeri Mekah. Kembalilah sebelum engkau menyesal!” kata suara yang lain. Kian Santang menoleh kearah dirinya sendiri.
Tak ada siapapun yang dia lihat. Hanya ombak bergelombang da hamparan laut yang luas membiru disekelilingnya. Suara siapakah gerangan? Mungkinkah suara Dewa? Benarkah aku ynag paling sakti di dunia?
Kian Santang dimasuki kegemangan. Langkahnya terhenti sesaat. Pikiranya mulai ragu, apakah dia akan melanjutkan perjalannya atau harus kembali kenegerinya. Tapi secepat itu dia ingat nasihat Resi Guru, bahwa suara-suara itu godaan terhadap keteguhan niatnya. Maka tenaglah kembali pikiran Kian Santang. Ia kembali melanjutkan perjalanan.

Tibalah di negeri Mekah. Orang yang pertama dijumpai adalah seorang kakek tua yang sedang berteduh dibawah pohon kurma, di padang pasir. Pakainnya amat sederhana, mengenakan baju gamis Arab yang agak kumal. Tetapi kakek itu nampak tenang. Kumis dan janggutnya telah memutih seluruhnya. Tangannya memegang sebuah untaian tasbih, sementara bibirnya tak henti bergerak-gerak, entah sedang membaca apa.

Bertanyalah Kian Santang kepadanya:
“Kek, dimanakah tempat tinggal Baginda Ali?”
Kakek itu tidak segera menjawab. Diperhatikannya Kian Santang baik-baik.
“Siapakah engkau, Nak?” tanya serayu mengerutkan dahi.
“Aku Kian Santang dari Tanah Jawa. Aku ingin mengadu kesaktian dengan Baginda Ali!” jawab Kian Santang yakin.
“Oh…! Mari ikut aku!” kata kakek itu sambil beranjak.
Mereka lalu pergi dari tempat itu. Tetapi baru beberapa saat aja, kakek tua itu menoleh kebelakang.

”Oh tongkatku ketinggalan, Nak. Bisakah engkau mengambilnya?”
Kian Santang mengangguk, lalu kembali ketempat tadi. Dilihatnya tongkat itu menancap ditanah, didekat pohon kurma. Kian Santang mengambilnya. Tapi tongkat itu tidak tercabut. Kian Santang mengerahkan tenaganya. Di pegang kuat-kuat dan di cabutnya dengan seluruh kekuatan. Tongat itu tidak terangkat sedikitpun. Kian Santang mulai berkeringat. Dicobanya kembali mencabut tongkat itu. Kini ia membacakan mantra dan jampi-jampi kesaktiannya. Tapi bukan tongkat yang tercabut, bahkan kakinya yang amblas kedalam tanah. Makinkeras dia mencabut tongkat, makin dalam kakinya amblas kedalam tanah.

Kian Santang putus asa dan dia merasakan adanya keanehan. Sementara kakek tua berada disampingnya. Kini Kian Santang yang memperhatikan baik-baik kakek tua itu. Ditatapnya dari ujung rambut hingga keujung kaki. 
“Siapakah kau sesungguhnya, kek?” tanya Kian Santang terengah-engah. Kakek tua itu
tersenyum penuh arti. Wajahnya tampak bersih bersahaja dan amat menyejukan.
“Akulah Baginda Ali yang kau cari!”
Bukan main kagetnya kian santang. Tubuhnya lemas seketika. Hilang segala daya dan kekuatan yang dia miliki selama ini. Dialah orang yang paling digjaya ditanah Jawa, tapi dihadapan baginda Ali dia bagaikan sebutir pasir dipadang pasir.

Baginda Ali segera mengangkat tubuh Kian Santang, dan tongkat itu dicabutnya dengan sangat mudah sekali. Kian Santang lalu bersujud di hadapannya.
“Hamba menyatakan takluk, dan menyerahkan diri kepadamu, baginda!” kata Kian Santang takzim.
“Berserah dirilah kepada Allah, bukan kepada ku. Dialah pemilik segala kekuatan. Allah yang maha gagah dan maha perkasa!”
Suara Baginda Ali seperti bergema , mengalun jauh kerelun-relun hati kian santang yang paling dalam.

“Manusia tidak memiliki daya dan kekuatan apa-apa, kecuali Allah. Dan ilmu Allah, andai saja air lautan dijadikan pena untuk melukisnya, maka tidaklah akan mencukupi. Ilmu yang kita miliki, hanya setetes saja dari luasnya lautan ilmu Allah lihatlah, bagaimana Allah menghamparkan bumi dan meninggikan langit, sanggupkah kita memikirkanya?”

Mendengarkan kata-kata itu, tubuh Kian Santang benar-benar bergetar. Ia tak tahan menahan gejolak perasaan yang berkecambuk didalam dadanya. Dan ia menangis tersedu-sedu. Tak terasa panas udara padang pasir, karena kesejukan Baginda Ali yang meresap kedalam kalbunya.

“Dapatkah hamba berguru pada Baginda?” tanya Kian Santang kemudian.
“Masuklah kedalam agama Islam” jawaban Baginda Ali.
“Bagaimana caranya?”
“Ucapkan dua kalimat pengakuan, asyhadu anla ilaha illallah, wa asyhadu anna muhamamadar rasullah”
Diulangi kalimat itu beberapa kali, lalu dituntutnya Kian Santang untuk mengucapkanya
Kian Santang telah masuk islam. Agama yang paling sempurna yang diturunkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sejak itu Kian Santang tinggal di negri Mekkah. Berguru kepada Baginda Ali dan mempelajari berbagai ilmu agama islam. Dibacanya Al-Qur’an setiap malam dan direnungkan mutiara yang terkandung didalamnya. Betapa Kian Santang merasakan kesejukan luar biasa setiap kali menghayati tiap-tiap mutiara ayat tersebut. Dadanya penuh seraya ikhlas menyarahkan diri seluruhnya kepada sang pencipta.



Bersambung (Kian Santang 4)

Kian Santang 2


Kian Santang adalah putera Prabu Siliwangi, raja Kerajaan Padjaran yang amat terkenal. Sejak Kian Santang rajin belajar dan berguru kepada para resi, sehingga ia memiliki berbagai ilmu dan kesaktian. Di Pajajaran tak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.
Tapi Kian Santang tidaklah menjadi sombong dan angkuh. Ia tetap berprilaku sopan dan ramah, rendah hati dan ramah dan suka menolong orang lainyang lemah. Ia begitu dicintai dan dikagumi oleh rakyat Pajajaran.
Kegemarannya mencari ilmu tidaklah surut meski ia telah dewasa dan memilki berbagai kesaktian. Beberapa orang resi dan guru telah didatanginya untuk ditimba ilmu-ilmunya. Hingga suatu saat ia bertemu dengan seorang Resi.

“Kedalaman ilmunya telah cukup, Nak. Kesaktianmu tak ada yang menandinginya. Di Tanah Jawa tak akan ada orang yang bisa mengalahkan kesaktianmu. Tapi ada orang yang lebih sakti darimu, “kata sang resi.
“Siapa dia, Resi Guru?” sahut Kian Santang terperanjat.
“Jauh sekali, Nak.”
“Aku akan mencarinya, sekalipun diujung dunia. Tunjukan kepadaku, Resi Guru. Aku ingin menguji kesaktiannya. Jika benar ia lebih sakti, aku akan berguru padanya,” kata Kian Santang mantap penuh keyakinan.

“Baiklah, akan kutunjukan . dia berada dinegeri Mekah, Baginda Ali namanya, “jawab Sang Resi. “Baginda Ali?” Mendengar nama itu , bergetarlah seluruh tubuh Kian Santang.
“Dimanakah negeri mekah itu?” “Di ufuk barat, di tempat matahari terbenam, “jawab Sang Resi.

“Seperti apa kesaktian dia? Apakah dia tahan terhadap senjata tajam seperti aku?” tanya Kian Santang penasaran. Sang Resi menggelengkan kepalanya.
“Apakahdia memiliki ilmu napak kancang hingga bisa berjalan diatas air seperti aku?”
Sang Resi kembali menggelengkan kepalanya.
“Apakah dia memiliki aji halimun hingga bisa menghilang seperti aku?”
Sang Resi tetap menggelengkan kepalanya.
“Apakah dia memliki aji geni hingga tahan terhadap api seperti aku?”
Sang Resi tersenyum mendengar pertanyaan Kian santang yang bertubi-tubi itu. Dengan sikap dengan penuh kearifan, Sang Resi menjawab dengan tenang.
“Baginda Ali tidak membutuhkan kesaktian-kesaktin seperti itu, Nak! Yang sakti ucapan dan perbuatannya. Kau akan jatuh tersungkur jika mendengar dia bicara.”
Kian Santang kembali teperanjat. Dia bisa membayangkan bagaimana hebatnya ilmu Baginda Ali, jika ucapannya saja bisa orang jatuh tersungkur.

“Kapan aku bisa menemui Baginda Ali di negeri Mekah, Resi Guru?” tanya Kian Santang dengan suara lemah.  "Tunggulah waktu yang baik. Dengan izin Tuhan , kau bisa menemuinya, “jawab Sang Resi.
Sejak itu Kian Santang dirundung kegelisahantiada tara. Siang dan malam pikirannya tidak tenang. Tidur tak nyenyak makan tak enak. Tak tahan rasanya inginsegera pergi kenegeri Mekah, menemui Baginda Ali.
Kegundahan Kian Santang lama kelamaan diketahui ayahnya, Prabu Siliwangi. Lalu Kian Santang dipanggilnya.
“Mengapa akhir-akhir ini kau begitu murung, anakku? Apa gerangan yang menjadi beban pikiranmu?” tanya Sang Perabu.

”Sembah sujud ananda , Ayah,” sahut Kian Santang seraya memberi sembah pada ayahnya. “Benarlah kata Ayah. Akhir-akhir ini pikiran ananda dirundung kegelisahan.”
“Apa yang terjadi sebabnya, anakku?” sela Sang Perabu.
“Ananda ingin bertemu Baginda Ali , Ayah.”
“Baginda Ali? Siapa dia?”

“Dialah orang sakti. Ucapannya bisa membuat orang jatuh tersungkur.”
“Oh…? Dimana dia?” “Dinegeri Mekah.” “Mengapa kau tidak mencarinya?”
“Resi guru mencegah ananda. Hanya pada saat yang baik, ananda bisa menemuinya. Itulah sebabnya ananda terus gelisah tak tenang pikiran.”

“Turutlah nasihat Resi Guru. Brangkatlah pada saatnya. Jika benar orang sakti bernama Baginda Ali itu ilmunya tinggi, bergurulah kau padanya. Tak ada jarak untuk menuntut ilmu. Capailah dia meski diujung langit.” Sang Perabu menasihati anaknya.

Tibalah pada saat yang ditunggu-tunggu. Resi Guru mengizinkan Kian Santang untuk pergi kenegeri Mekkah. “Tabalah pada godaan yang menghadangmu. Ditengah perjalanan, kau akan mendengar tujuh suara!” Demikian Resi Guru mengingatkan.

Setelah memohon restu dari Resi Guru dan Ayahnya, Kian Santang segera berangkat. Dengan menggunakan ilmu kesaktian napak kancang, dia bisa berjalan dan berlari dipermukaan laut. Tubuhnya ringan, melayang cepat menuju kearah barat, ketempat matahari terbenam.
Ditengah perjalanan, Kian Santang mendengar suara tanpa wujud. Suara itu berasal dari tujuh arah di sekelilingnya.

“Kau sesungguhnya orang yang paling sakti di dunia! Kata suara itu.
Kian Santang menoleh kearah kiri. “Kau memliki ilmu yang sangat ampuh!” kata suara yang lain. Kian Santang menoleh kearah depan. “Kau tak akan tertandingi!” kata suara yang lain.
Kian Santang menoleh kearah belakang. “Baginda Ali tidak sebanding denganmu!”kata suara yang lain. Kian Santang menoleh kearah atas.

Bersambung  (Kian Santang 3)   

Kian Santang 1


Prabu Siliwangi Memiliki beberapa putra dan putri diantaranya adalah Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang keduanya adalah putra dan putri kesayangan sang Prabu, Raden Kian santang terkenal dengan Kesaktiannya yang luar biasa, di dunia persilatan nama Raden Kian Santang sudah tak asing lagi sehingga seluruh Pulau Jawa bahkan Nusantara saat itu sangat mengenal siapa Raden Kian Santang tak ada yang sanggup mengalahkannya bahkan Raden Kian Santang sendiri tak pernah melihat darahnya sendiri.
Raden Kian Santang Putra Prabu Siliwangi terkejut ketika didalam mimpinya ada serang Kakek berjubah yang mengatakan bahwa ada seorang manusia yang sanggup mengalahkannya dan kakek tersebut tersenyum.
Mimpi itu terjadi beberapa kali hingga Raden Kian Santang bertanya - tanya siapa orang itu, dalam mimpi selanjutanya sang kakek menunjuk ke arah lautan dan berkata orang itu di sana …
Penasaran dengan mimpinya Raden Kian Santang meminta Ijin kepada ayahandanya Prabu Siliwangi untuk pergi menuju seberang lautan, dan menceritakan semuanya. Prabu Siliwangi walaupun berat mempersilahkan putranya pergi, namun Ratu Rarasantang adik perempuan Raden Kian Santang Ingin Ikut Kakaknya.
Walaupun di cegah namun Ratu Rarasantang tetap bersikeras ikut kakaknya, yang akhirnya mereka berdua pergi menyeberangi lautan yang sangat luas menuju suatu tempat yang ditunjuk orang tua di dalam mimpinya.
Hari demi hari, minggu berganti minggu dan genap 8 bulan perjalanan sampailah Raden Kian Santang dan Ratu Rara Santang kesebuah dataran yang asing, tanahnya begitu kering dan tandus, padang pasir yang sangat luas serta terik matahari yang sangat menyengat mereka melabuhkan perahu yang mereka tumpangi.
Tiba - tiba datanglah seorang Kakek yang begitu sangat dikenalnya. ya kakek yang pernah datang kedalam mimpinya. kakek itu tersenyum dan berkata Selamat datang anak muda …. Assalamu alaikum ..  Raden Kian Santang dan Ratu Rarasantang hanya saling berpandangan dan hanya berkata aku ingin bertemu dengan Ali, orang yang pernah kau katakan sanggup mengalahkanku.
Dengan tersenyum Kakek itu berkata ” anak muda… Kau bisa bertemu Ali jika sanggup mencabut tongkat ini… kakek itu menancapkan tongkat yang dipegangnya.
Kembali Raden Kian Santang dan Ratu Rarasantang berpandangan dan Raden Kian Santang Tertawa terbahak - bahak…  Hai Orang Tua… DI negeri kami adu kekuatan bukan seperti ini, tapi adu olah kanuragan dan kesaktian, Jika hanya mencabut Tongkat itu buat apa aku jauh - jauh kenegeri tandus seperti ini ???  kata Raden Kian Santang Mengejek.
Kakek itu kembali tersenyum, Anak muda … Jika kau sanggup mencabut tongkat itu kau bisa mengalahkan Ali, jika tidak kembalilah kau kenegerimu anak sombong …. kata orang tua itu lagi….
Akhirnya Raden Kian Santang mendekati tongkat itu dan berusaha mencabutnya… namun upayanya tak berhasil semakin dia mencoba semakin kuat tongkat itu menghujam.
Keringatnya bercucuran, Ratu Rarasantang tampak khawatir dengan keadaan kakaknya tiba - tiba darah di tangan Raden Kian Santang menetes dan barulah dia menyadari bahwa orang tua yang dihadapannya bukan orang sembarangan.
Lututnya bergetar dia merasa kalah Ratu Rara Santang yang terus memperhatikan kakaknya segera membantunya namun tongkat itu tetap tak bergeming, akhirnya mereka mengaku kalah.
Hai Orang tua … Aku mengaku kalah dan aku tak mungkin sanggup melawan Ali, melawan dirimu pun aku tak bisa tapi ijinkan aku bertemu dengannya dan berguru kepadanya.
Kakek itu kembali tersenyum… anak muda, Jika Kau ingin bertemu Ali maka akulah Ali, tiba - tiba mereka berdua bersujud kepada orang tua itu namun tangan orang tua itu dengan cepat mencegah keduanya bersujud. Jangan Bersujud kepadaku anak muda… Bersujudlah kepada Zat yang menciptakanmu yaitu Allah …
Akhirnya mereka berdua mengikuti orang tua itu yang ternyata ALi bin Abu Tholib ke Baitullah dan masuk ke Agama Yang diridhoi Allah yaitu Islam.



Sabtu, 02 Oktober 2010

Karomah Ki Bahri bin Pandak Tg. Atap

Di kalangan warga kota Palembang dan sekitarnya, nama Ki Bahri bin Pandak desa Tanjung Atap  cukup dikenal. Teristimewa di lingkungan masyarakat di daerah Pangkalan Lampam, Selapan, Sungai Bungin, Sungsang  dan sekitarnya.

Banyak cerita aneh ("karomah") mengenai Ki. Bahri bin Pandak Tanjung Atap, namun  kali ini kami hanya menyajikan cerita dari orang yang langsung mengalaminya bersama Ki Bahri bin Pandak Tg. Atap, di antaranya adalah :
A Rohim Abdullah, warga desa Tanjung Atap, menceritakan bahwa beliau bersama tiga orang lainnya pernah  diajak oleh Ki Bahri untuk menebas rumput di pesanteren beliau di seberang desa Tanjung Atap. Kepada mereka berempat Ki Bahri berpesan agar membawa perlengkapan sholat, karena mereka akan bekerja sampai sore. Menjelang tengah hari mereka merasa lelah dan lapar. Melihat hal itu, Ki Bahri lalu memberi mereka masing-masing satu helai daun untuk dimakan. Anehnya, setelah memakan daun tersebut badan mereka menjadi kembali segar, dan rasa laparnya hilang seketika, sehingga mereka kembali dapat melanjutkan pekerjaannya sampai sore hari.

Salah seorang keponakan beliau, menceritakan bahwa pada suatu hari ia menginap di rumah Ki Bahri. Di malam harinya, ia membuka semua laci mesin jahit untuk mencari jarum, karena salah satu kancing bajunya terlepas. Namun ia tidak menemukannya. Laci mesin jahit itu kosong, tidak ada apa-apa di sana. Keesokan harinya, ia dipanggil oleh Ki Bahri, dan diperintahkan untuk membeli semen dalam jumlah yang cukup banyak. Ki Bahri juga berpesan untuk mengambil uangnya di dalam laci mesin jahit yang ia lihat tadi malam. Tentu saja keponakan beliau itu  bingung, karena ia tahu persis bahwa laci mesin jahit itu kosong. Ia berusaha menjelaskannya kepada Ki Bahri, tapi beliau terus mendesak untuk memeriksa kembali laci mesin jahit itu. Akhirnya, karena penasaran, keponakan beliau itu  kembali memeriksa laci mesin jahit tersebut. Ternyata, keempat lacinya semua penuh berisi uang, lebih dari cukup untuk membeli semen yang diperintahkan Ki. Bahri.


Sampai sekarang masih banyak murid-murid ataupun pencinta beliau (terutama jama'ah Majelis Ta'lim wad Tadzkir Awwabien Darul Muttaqien Palembang, pimpinan alm. KH. Ali Umar Thoyyib) yang berziarah ke makam beliau di desa Tanjung Atap Ogan Ilir.